Para Peneliti Temukan Pemicu Kekerasan Pada Otak Manusia
Credit by: Ilustrasi

Jakarta, PINews.com - Kekerasan yang terjadi makin hari makin sadis dan tanpa kita sadari kekerasan sudah menjadi hal lumrah dan siapa saja bisa tiba-tiba berubah dan melakukan kekerasan.

Tentu timbul pertanyaan apakah kekerasan memang sudah ada dalam diri manusia sejak lahir? Atau terbentuk seiring berjalannya waktu?

Dilansir dari DW, para peneliti saraf dan otak melakukan eksperimen untuk mengamati, apakah jika manusia melakukan agresi, sistem pemberi rasa bahagia di otaknya diaktifkan? 

Ternyata dari penelitian tersebut terungkap bahwa aksi kekerasan tanpa alasan kuat tidak memberikan respon apapun terhadap sistem kebahagiaan di otak.

Justru sisterm itu akan merespon jika kita mendapatkan pengakuan atau penghargaan dari orang lain.

Jadi para ahli menyimpulkan bahwa orang siap melakukan apa saja demi mendapatkan pengakuan atau penghargaan tersebut. Inilah yang seringkali melahirkan tindakan-tindakan diluar nalar termasuk kekerasan demi mendapatkan pengkauan.

Melalui penelitian ini, para peneliti saraf dan otak dapat menjelaskan, apa yang mendorong para remaja bergabung dengan grup pelaku kekerasan. Yakni mencari pengakuan dan di sini mereka merasa dihargai, sehingga sistem pemberi ganjaran kebahagiaan di otak mereka juga diaktifkan.

Salah satu contoh nyata yang bisa dilihat dari implementasi penelitian ini adalah adanya pergerakan radikal yang didominasi para pemuda di Eropa.

Para pemuda di Eropa dengan sukarela mau bergabung dengan kelompok radikal, ISIS contohnya, di mana ada kemiripan latar belakang mereka yakni ditelantarkan orangtua, gagal di sekolah, mendapat diskriminasi dari masyarakat.

Mereka sakit, bukan fisik, tapi psikis. Dan jika sakit mereka memuncak maka pengakuan menjadi obatnya, dan cara mendapatkan pengakuan itu dapat berupa perilaku agresif.

"Ini adalah reaksi alami dari evolusi. Kita memiliki kemampuan untuk menjadi agresif, sebagai mekanisme pertahanan diri yang kita perlukan saat ada ancaman bahaya", ujar pakar biologis saraf Joachim Bauer.

Editor: RI