Musik Keroncong Ternyata Lahir Di Utara Jakarta (Part I)
Credit by: Personel awal Krontjong Toegoe (Dok.Krontjong Toegoe)

Jakarta, PINews.com - Jika ada yang berkata Keroncong adalah musik yang lahir dari kebudayaan Jawa, maka itu adalah sebuah kesalahan besar. Tidak sedikit masyarakat selama ini tidak mengetahui bahwa Keroncong itu sendiri lahir disalah satu sudut bagian kecil kota Jakarta dimana sekarang identik dengan daerah melintasnya truk-truk kontainer pembawa peti kemas di utara Jakarta yakni wilayah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Yaa..dilingkungan keras yang penuh dengan debu, kondisi cuaca yang selalu panas, serta tempat berlalu-lalangnya kendaraan-kendaraan berat ternyata menjadi tempat cikal bakal lahirnya musik beralunan halus yang mampu menenangkan jiwa dan pikiran.

Jika ditarik garis merahnya, kata Andre Andre Juan Michiels seorang pelaku seni Keroncong, musik Keroncong berasal dari zaman kedatangan bangsa Portugsi di Nusantara (Indonesia) pada sekitar tahun 1600an. Namun saat itu Portugis berhasil diusir oleh Kerajaan Malaka.

Beberapa tentara dan warga Portugis pun sempat ditawan selama bertahun-tahun. Dan kebetulan juga mereka yang ditahan adalah orang Potugis campuran yang memiliki darah Indonesia.

“Tahun 1661 para tawanan yang berjumlah 23 kepala keluarga dibebaskan dan diizinkan membuka lahan untuk mereka tinggal dan hidup, Nah.. daerah itulah yang sekarang berdiri Kampung Tugu,” papar Andre.

Singkat cerita para warga yang baru merdeka ini menciptakan hiburan mereka sendiri berupa musik berikut dengan alatnya yakni Macina, Prounga dan Jitera, semuanya adalah alat musik berbentuk seperti Gitar hanya saja bentuknya yang mini.

Tanpa disadari musik yang mereka ciptakan ternyata menjadi buah bibir dan digemari seluruh lapisan masyarakat, terutama para Sinyo Belanda yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Bunyinya yang meriah “crang creng cong” itu kemudian dinamakan masyarakat menjadi Keroncong.

“Jaman penjajahan Belanda itu musik Keroncong tumbuh subur, karena sering digunakan pada acara-acara resmi selain pengiring di Gereja juga sebagai pengiring di lantai dansa dan acara-acara penting lainnya”jelas Andre.

Andre Juan Michiels adalah pria kelahiran 1967 keturunan Portugis yang masih setia menetap di Kampung Tugu. Tidak hanya untuk menjaga tanah leluhur tapi pria yang kini memiliki bisnis peti kemas di halaman rumahnya ini juga memiliki cita-cita untuk terus melestarikan musik keroncong sebagai warisan leluhurnya.

Perkembangan musik Keroncong yang tumbuh subur di zaman pendudukan Belanda tidak berlanjut di zaman Jepang. Tentara Nipon menganggap Keroncong berbahaya karena dianggap sebagai musik pembangkit patriotisme.

“Zaman Jepang sempat mengalami kevakuman. Semua aktifitas bermusik Keroncong dulu dihentikan” kata Andre yang berperawakan energik khas pria utara Jakarta.

Baru pada masa perang kemerdekaan Keroncong kembali menyeruak dan menunjukkan eksistensinya untuk menghibur pada prajurit kemerdekaan yang tengah berperang.

Menurut Andre, pada masa perang kemerdekaan inilah Keroncong mulai dikenal diberbagai daerah di Indonesia secara luas dengan bantuan siaran Radio.

Penyebaran keroncong jadi sangat cepat, di Jawa, Kalimantan, Sulawesi pasti kita bisa mendengar keroncong. Musik Keroncong pun dimainkan di daerah masing-masing dengan menggunakan alat musik tradisional masing-masing daerah.

ini juga yang membuat Andre bangga akan Keroncong karena mampu merangkul semua budaya daerah melalui lantunan musik.

Hanya saja memang harus diakui perkembangan musik keroncong jauh lebih tumbuh subur di tanah Jawa seperti Semarang, Solo, Surabaya. “Musisi besar seperti WR Supratman dan Ismail Marzuki, tidak ketinggalan menciptakan lagu bertemakan alam di Jawa dengan musik Keroncong” kata Andre. Itulah yang membuat Keroncong identik dengan Jawa.

Kini musik keroncong asli di Kampung Tugu dikenal dengan nama Krontjong Toegoe yang juga telah mendapatkan sertifikat sah dari pemerintah sebagai pelaku seni yang telah melestarikan musik asli Indonesia. 

Editor: RI