Di Tangan Anak Jalanan Sampah Menjadi Emas
Credit by: dok/PHE

Kehidupan jalanan adalah pergulatan untuk bertahan hidup hari ini, tidak ada waktu untuk mengenang-ngenang dan tak ada apa pun di masa lalu untuk dikenang. Tidak ada masa depan sehingga acuan waktu seperti itu tidak dikenal.  - John Grisham, The King of Torts

Benarkah anak-anak jalanan, seperti dikatakan John Grisham, tidak memiliki masa depan? Dindin Komarudin membalikkan pendapat novelis itu.  

Tatapan mata Dindin sesekali menerawang jauh saat bercerita tentang anak-anak jalanan, kampung kumuh, dan Yayasan Kreatif Usaha Mandiri Alami (Kumala). Udara Tanjung Priok siang itu cukup panas.  Tiga remaja, salah satunya tampak berasal dari Papua, asyik memilih gundukan tutup botol bekas dan kemudian memasukkannya dalam bak yang berbeda. Dua orang tukang tampak membangun ruang bersekat di halaman samping hingga belakang kantor Yayasan Kumala, di Jl Berdikari, Rawa Badak Utara, Jakarta Utara.  “Ruang ini untuk menampung bank sampah,” tutur Dindin, yang akrab dipanggil Abah.

Mungkin lantaran alumus Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) itu berasal dari Bandung maka dia dipanggil Abah, yang berarti ‘ayah’.  Sejatinya, mantan pegawai kapal keruk pasir laut di Bangka-Belitung itu telah menjadi sandaran bagi 300-an anak jalanan yang dibinanya setulus hati. “Beberapa orang mungkin melihat anak-anak jalanan sebagai orang yang tidak terdidik, kriminal, dan harus dijauhi. Mereka seolah tidak punya masa depan. Jika bukan kita yang perduli, anak-anak jalanan akan terus menjadi masalah yang tidak terselesaikan,” ujar Abah Dindin.

Lelaki berusia mendekati 50 tahun ini mendirikan yayasan pada 2008, setelah enam tahun lebih menjadi pekerja sosial (peksos) di dua yayasan berbeda milik temannya. Pendirian yayasan ini menjadi bentuk tanggungjawabnya untuk melindungi anak jalanan. Bayangkan, sebelum yayasan berdiri, rumah kontrakannya yang menjadi tempat berkumpul anak jalanan kerap dicurigai warga. “Bila ada warga yang rumahnya kemalingan, pasti kita duluan yang didatangi dan diperiksa. Kadang saya nangis,” katanya.

Jika sudah begitu, Dindin memilih untuk bertamu pada aparat desa atau aparat keamanan setempat. Kepada mereka di berkata, “Pak, kami sedang berusaha sekuat tenaga untuk berubah dan mengubah nasib. Tolong harapan kami jangan dihancurkan dengan kecurigaan tak berdasar.”

Berdasaran data Dinas Sosial DKI Jakarta, terdapat 461 orang anak jalanan di Tanjung Priok masuk ke dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Ini adalah angka tertinggi dibandingkan kecamatan lain di Jakarta Utara. Sedangkan dari aspek lingkungan, lebih dari 1.300 ton sampah dihasilkan oleh penduduk Jakarta Utara setiap harinya. Sebenarnya, sebagian dari sampah tersebut, khususnya non-B3, dapat dimanfaatkan dan didaur ulang.

Abah Dindin memberdayaan anak jalanan Tanjung Priok dengan memanfaatkan sampah non-B3 yang kemudian diolah menjadi kertas daur ulang, tempat tissue, frame foto, undangan, dan lain-lain. Produk mereka sudah di pasarkan hingga mancanegara.  Di tangan mereka sampah menjadi emas. Anak jalanan yang dibina juga diberikan beragam keterampilan, baik hard-skill (keterampilan daur ulang, komputer) maupun soft-skill (kepemimpinan, komunikasi, loyalitas dan integritas).

Namun, mengajak anak-anak jalanan untuk ikut bergabung dengan yayasan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Awalnya, dia harus berpakaian dan bergaul seperti anak-anak jalanan agar diterima dalam komunitas mereka. Pelan-pelan pendekatannya berhasil. “Kita tumbuh bersama sebagai sebuah keluarga yang berjuang untuk memperbaiki kehidupan. Mereka tidak mau lagi kembali ke jalanan. Mereka banyak yang sudah mandiri. Satu orang bahkan sudah sarjana,” tuturnya, sambil menunjuk spanduk berisi foto anak jalanan yang berpose di tempat kerjanya masing-masing. 

Perkembangan Yayasan Kumala pada awal berdiri mendapatkan bantuan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang sedang merilis pilot project penanganan anak jalanan. Selanjutnya, pada 2011, Abah Dindin kebetulan bertemu dengan manajemen PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) pada sebuah acara talkshow radio. Sejak saat itu, Yayasan Kumala dibina oleh perusahaan. Kerjasama dimulai dengan penyerahan limbah kertas dan palet kayu dari perusahaan untuk diolah menjadi berbagai produk kertas daur ulang.

“Mereka heran karena saya tidak meminta uang seperti kebanyakan yayasan. Akhirnya dikirim palet dan kertas bekas bertruk-truk. Bahkan, pernah suatu ketika barang-barang itu baru habis bertahun-tahun untuk diolah menjadi berbagai produk daur ulang,” kenangnya.

Palet dan kertas bekas itu pada awalnya diberikan secara gratis. Tetapi saat ini, seiring dengan berkembangnya bank sampah, nilai nominal dari palet dan kertas bekas dimasukkan dalam accout milik PHE ONWJ di bank sampah yang dikelola Yayasan Kumala. Dana yang terkumpul tidak dinikmati PHE ONWJ, tetapi dikembalikan lagi untuk mendanai kegiatan yayasan, termasuk alokasi beasiswa bagi anak jalanan yang masih meneruskan pendidikan formal. "Tentunya setelah seizin perusahaan," tegas Dindin. 

Abah Dindin, yang meraih Juara III Pertamina Award Kategori Pertamina Berdikari dan Juara Favorit Pilihan Netizen 2016, mengakui pendekatan PHE ONWJ kepada Yayasan Kumala sangat elegan. “Mereka tidak menginstruksikan  yayasan harus begini atau begitu. Tapi, lewat kunjungan dan mengobrol biasa mereka memasukkan ide-ide perubahan untuk pengembangan kapasitas yayasan, seperti pembuatan modul pelatihan dan pelatihan training of trainer (TOT),”  tuturnya.

Sebanyak 25 anak akhirnya tersertifikasi sebagai trainer daur ulang sehingga bisa melakukan pelatihan di daerah lain. Bermodal sertifikat ini mereka bisa mengajar atau menjadi instruktur. Modul dan pelatihan daur ulang ini bisa bernilai jutaan rupiah.

PHE ONWJ juga mendorong Yayasan Kumala untuk mengembangkan berbagai inovasi. Salah satunya, kata Abah Dindin, saat ini sedang dikembangkan kertas daur ulang dari campuran kulit durian. Jenis kertas ini dapat menyerap ceceran limbah pelumas. Kertas berbahan kulit durian ini bisa menggantikan kertas impor yang harganya mahal. Sayang produksinya masih terbatas. “Penjual durian senang karena limbahnya ada yang mengambil. Kertas ini sudah dibeli perusahaan termasuk PHE,” katanya.

Ketokohan Abah Dindin yang telaten mengasuh dan membimbing anak jalanan memperlihatkan bahwa kelompok masyarakat yang dipandang sebelah mata ini merindukan perubahan. Mereka memiliki potensi sama dengan yang lain. Mereka hanya butuh empati dan perhatian. “Secara naluriah tidak ada yang mau hidup di jalanan,” tegasnya.    

Risna Resnawaty, pakar CSR yang merupakan Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran, menjelaskan dalam pelaksanaan CSR seringkali ditemukan anggota masyarakat yang mampu menjadi motor dalam pembangunan di daerahnya. Mereka ini biasanya yang memiliki energi yang sangat besar untuk menyelesaikan masalah di wilayahnya bahkan melakukan pengembangan masyarakat secara mandiri  “Para local hero ini biasanta menjadi penggagas program. Bisa jadi mereka sudah ada sebelum perusahaan melaksanakan intervensi, atau lahir setelah perusahaan melaksanakan program CSR,” katanya.

Dia menambahkan local hero pada prosesnya dapat ditemukan saat perusahaan melakukan assessment terhadap masyarakat di wilayah kegiatan CSR. “Pelaksanaan CSR yang baik tentu harus mampu membangun dan mengembangkan kapasitas mereka secara maksimal dalam pengetahuan, keterampilan maupun sikap sehingga pembinaan local hero secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dari kegiatan CSR perusahaan,” ungkapnya.

Editor: HAR