Pertamina EP Rencanakan Pilot Project EOR CO2 di Sukowati
Credit by: pep asset 4

Jakarta, PINews.com –  PT Pertamina EP menjelaskan  tahapan pre-feasibility study injeksi gas karbondioksida (CO2)  untuk Enchanced Oil Recovery (EOR) di Lapangan Sukowati saat ini masih jalan, bahkan akan dipercepat, menyesuaikan dengan target on stream megaproyek gas dari Lapangan Jambaran-Tiung Biru pada 2021 dengan kapasitas sekitar 315 MMSCFD. Pada tahun ini, studi penerapan CO2 bisa memasuki tahap pilot project dengan 1-3 sumur percobaan.

Proyek tersebut merupakan unitisasi dua lapangan dari dua wilayah kerja berbeda. Lapangan Jambaran merupakan bagian dari wilayah kerja Cepu dan Lapangan Tiung Biru yang menjadi bagian dari wilayah kerja Pertamina EP. Gas CO2 dari lapangan ini akan digunakan untuk EOR.

John H Simamora, Direktur Pengembangan Pertamina EP,  Pertamina sedang menyusun rangkaian studi -- dari mulai tahap prastudi, skala lab, trial hingga pilot project -- karena penerapan EOR CO2 di Lapangan Sukowati tidak mudah. “Dibutuhkan studi-studi yang lebih detail karena reservoir Sukowati sebetulnya tidak terlalu pas untuk menggunakan CO2. Penggunaan EOR yang efektif harus pada kondisi tertentu,” tuturnya, di Jakarta, baru-baru ini.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan gas yang dihasilkan dari enam sumur akan diolah melalui fasilitas pemrosesan gas (gas processing facility/GPF). Dari rata-rata produksi sebesar 315 MMSCFD, GPF nantinya memisahkan kandungan CO2 dan hidrogen sulfida (H2S). Gas yang dapat dijual dari lapangan tersebut sebesar 172 MMSCFD yang akan disalurkan melalui pipa transmisi Gresik-Semarang akan dibangun PT Pertamina Gas .

Lapangan-lapangan yang dikelola Pertamina EP membutuhkan EOR Project terutama untuk lapangan yang primary recovery sudah mencapai 90%.  Kondisi lapangan yang dikelola Pertamina EP sudah berada pada akhir primary recovery. Di sisi lain, cadangan yang bisa terambil itu cukup banyak, lebih dari 5 milliar barel. Potensi ini bisa diambil di secondary atau tertiary recovery sehingga EOR mau tidak mau harus dimulai dari sekarang.

Penggunaan EOR akan mengurangi decline rate dan memperpenjang produksi sumur-sumur eksisting hingga 30-40 tahun mendatang. EOR diyakini PEP dan Pertamina merupakan alternatif terbaik untuk mencapai target produksi. Perusahaan telah menetapkan rencana jangka panjang terkait penerapan EOR. Hasil forecast produksi dari kegiatan waterflood dan EOR memperkirakan tambahan produksi di tahun 2021 sebesar lebih dari 14,6 KBOPD dan mencapai puncak produksi lebih dari 47 KBOPD di tahun 2025.

Kinerja Positif

Meskipun mengelola sumur-sumur tua, kinerja Pertamina EP tetap moncer.  Untuk semester I 2018, perusahaan  membukukan laba bersih sebesar US$361 juta hingga Juni 2018 atau sekitar 65,95% dari target tahun ini sekitar US$547 juta. Raihan laba tersebut naik 124,76% dibandingkan realisasi periode sama tahun lalu yang sebesar US$289,4 juta atau 48,56%  dari RKAP sebesar US$595 juta.

Nanang Abdul Manaf, Presiden Direktur Pertamina EP, mengatakan peningkatan laba bersih pada semester I ditopang oleh kenaikan penjualan. Pada periode hingga Juni 2018, Pertamina EP membukukan pendapatan US$1.458 juta, naik 118% dari US$1.234 juta (year-on-year/yoy) didorong oleh penjualan dalam negeri non-BBM sebesar US$ 1.442 juta serta ekspor minyak mentah dan gas US$16,4 juta.

“Kenaikan pendapatan juga ditopang oleh kenaikan harga minyak, yaitu US$66,28 per barel (naik 138,1% dari US$48,48 per barel dari periode sama tahun lalu) dan harga gas US$6,07 per MSCF, naik 102,63% dari US$5,92 (yoy),” ujar Nanang.

Menurut Nanang, pendapatan Pertamina EP pada semester I berasal dari hasil penjualan lifting di dalam negeri sebesar 13.632,26 MBO atau sekitar 45,2% terhadap RKAP 2018 sebesar 30.143 MBO. Sedangkan penjualan ekspor  minyak berasal dari ekspor kondensat Senoro Field Matindok sebesar 155 MBO ke Singapura dan  Korea Selatan serta penjualan ekspor gas dari Unitisasi Suban sebesar 863,12 MMSCF ke konsumen Gas Supply Pte Ltd Singapura.

“Peningkatan penjualan sepanjang semester satu juga ditopang oleh realisasi produksi migas Pertamina EP yang naik 101,76% menjadi 252.529 BOEPD pada tahun 2018 dari 248.161 BOEPD di tahun 2017 (year of year),” katanya.

Hingga akhir Juni 2018, realisasi produksi harian minyak Pertamina EP adalah 76.000 BOPD atau 91,65% dari angka RKAP 2018 sebesar 83.000 BOPD dan 96.,6 % dibandingkan dengan realisasi produksi harian minyak di tahun sebelumnya. Sementara itu, produksi gas hingga Juni 2018 mencapai 1.022,4 MMSCFD dari target RKAP 986.110 MMSCFD, lebih tinggi 104,28% daripada posisi akhir Juni 2017 sebesar 980,44 MMSCFD. Secara total produksi migas Pertamina EP sampai ahir Juni 2018 sebesar 252.529 BOEPD atau 99,73% dibandingkan RKAP 2018 sebesar 253.203.

“Dari lima asset dan kemitraan, kontributor terbesar produksi minyak adalah Asset 5 di Kalimantan dengan produksi rata-rata 18.530 BOPD sekitar 24% dari total produksi minyak Pertamina EP. Sedangkan produksi gas terbesar ada di Asset 2 di Sumatera Selatan sebesar 437,4 MMSCFD atau 43% dari total produksi gas Pertamina EP. Untuk total produksi migas ada di Asset 2, yaitu 92.424 BOEPD atau sekitar 37%,” ujar Nanang.

Asset 5 sebagai kontributor produksi minyak terbesar, salah satunya dari hasil pemboran pada Field Tarakan (di Struktur Sembakung) dan Field Bunyu (Struktur Bunyu). Sedangkan  Asset 2 sebagai kontributor produksi gas terbesar didukung oleh perbaikan kinerja kompresor di Field Prabumulih dan penambahan empat unit kompresor di Field Pendopo.

Untuk meningkatkan cadangan migas, tambah Nanang, Pertamina EP juga melakukan kegiatan eksplorasi yang telah mencapai tujuh sumur. Sebanyak tiga sumur sudah selesai eksplorasi dan empat sumur dalam pelaksanaan pemboran. Untuk seismic 2D telah dilakukan  sepanjang 153km dan 3D seluas 344 km2.

“Pada semester II kami proyeksikan realisasi pemboran mencapai 13, seismic 2D sepanjang 1190 km dan 3D seluas 444 km2. Pemboran dilakukan pada beberapa area potensial seperti Akasia Maju dan Pinus Harum di Jawa Barat, Sekarwangi di Sumabgsel, dan Wolai di Sulawesi Tengah,” ujarnya.

Kendala Eksplorasi

Pengembangan eksplorasi tersebut masih menemui kendala, terutama permasalahan lahan dan penambangan migas ilegal yang dilakukan masyarakat di sekitar lokasi sumurnya. "Rencananya, di semester I itu kami mau selesaikan 60 sumur pengembangan. Realisasinya hanya 42 sumur. Sebagian terkendala karena masalah illegal drilling," kata Nanang.

Dia menjelaskan umumnya, masalah yang menghambat kegiatan pengeboran ini adalah terkait pembebasan lahan. Ada beberapa lahan lokasi sumur yang belum bisa dibebaskan karena warganya meminta harga tinggi. Ada juga masalah tumpang tindih lahan. Bahkan, ada beberapa lokasi sumur yang masuk dalam lahan hutan rakyat.

Nanang berharap masalah ini segera selesai. Caranya dengan penegakan hukum. Dia menilai keberhasilan memberantas pembalakan liar (illegal logging) maupun penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) dapat dijadikan acuan untuk menuntaskan masalah illegal drilling yang menurutnya makin marak ketika harga mintak naik. “Kegiatan illegal drilling ini musiman, ketika harga minyak naik,” ujarnya. Sepanjang semester I, rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) mencapai US$ 66 per barel, lebih tinggi dari proyeksi Pertamina EP tahun ini di angka US$48 per barel.

 

Editor: HAR