Tanah Berongga, PINews.com - Budidaya lele mengubah wajah Kampung Tanah Berongga, dari tak ternama menjadi popular. Potret pemberdayaan masyarakat membangun kemandirian.
Ramadhan pada 2014 kali ini menjadi berkah bagi Sulastri. Penganan buatannya, seperti baso,nugget, kerupuk laris manis “Alhamdulillan pesanan sampai 70 kg,” ujarnya. Harganya Rp 35.000 per kg. Apa yang membuatnya diburu konsumen ? “Bahannya kami olah dari lele. Mungkin mereka penasaran, “ ujar wanita berusia 42 tahun ini. Praktis di Aceh Tamiang, baru di Dusun Makmur Tanah Beronggalah, ada produk olahan lele. Untuk memenuhi pesanan tersebut, Sulastri dibantu satu tetangganya. Tentu tak sekedar penasaran, rasa pun tak kalah lezat dibandingkan olahan lain.
Senyum makin mengembang karena suaminya Samidi baru panen lele. Dari kolamnya diangkat 136 kg. Samidi tak susah mencari pembeli karena agen datang sendiri kepadanya. Harganya pun lagi bagus Rp 16.000 per kg setelah beberapa bulan sebelumnya sempat jatuh, hanya Rp 13. 000 Kg. Hari itu Samidi bisa mengantongi Rp 2 juta . “Lumayan, “ ujar Samidi sambil tertawa. Samidi semula hanya punya enam petak kolam. Sekarang lele sudah sudah mengkatrol kehidupan mereka. “Karena lele tahun ini kami bisa menyekolahkan anak ke Perguruan Tinggi,“ ujar Sulastri. Yang jadi mahasiswa itu anaknya yang kedua. Sedangkan yang pertama hanya bisa sampai SMA karena tak ada biaya.
Tak hanya keluarga Samidi, hampir semua penduduk kampung yang lebih terkenal dengan sebutan Tanah Berongga menangguk rezeki dari budidaya lele. Kampung tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Kampung Lele. Ekonomi masyarakat pun menggeliat. Saya sudah dua kali mengunjungi kampung tersebut. Pertama, Desember dua tahun lalu. Saat itu ibu-ibu masih jadi penonton. Suasana desa pun seperti kebanyakan desa di lokasi lain, tak bergairah, denyut kehidupan tak terasa.
Kesan tersebut pupus saat saya berkunjungan kedua kali Agustus lalu. Ibu-ibu sudah bisa cari duit sendiri dari mengolah lele. Suasana desa lebih segar. Anak-anak bersepeda berkelompok. Dalam bahasa Sulastri, kemajuan ekonomi itu dibahasakan dengan tiap rumah sudah punya jamban sendiri-sendiri.
Tanah Berongga pun mulai bergaung, melintasi batas geografis, yang datang ke situ silih berganti, baik dari instansi maupun perorangan. Dari sekedar mau belajar “ilmu lele” sampai menawarkan bantuan. Seperti nama kelompok tani, “sido urip” yang mereka bentuk, kampung tersebut sekarang benar-benar jadi hidup.
Kelompok Tani Urip sebetulnya sudah berdiri sejak 1995. Tapi. sudah berdiri puluhan tahun, “urip” yang dicita-citakan kelompok Sido Urip tak kunjung datang. Kehidupan anggota kelompok kembang kempis. Mereka nyaris tak merasakan manfaat keberadaan kelompok tani tersebut, antara ada dan tiada. “ Mungkin salah setting,” ujar Bambang Sutrisno, Ketua Kelompok Tani Sido Urip. Maksudnya, fokus mereka terlalu ke pertanian. Padahal, tanah di sana lebih cocok untuk perikanan.
Meski anggota kelompok tani sudah mengikuti berbagai pelatihan, hasilnya tak ada. Kelompok Tani pun seperti kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau Kondisi ini berlangsung puluhan tahun. Cahaya harapan mulai berpendar saat PT Pertamina EP Rantau Field menawarkan bantuan untuk mengembangkan lele pada akhir 2010. Tak sekedar hit and run, memberikan bantuan terus pergi, staf CSR Rantau Field terus memonitor kemajuan kelompok
Kehidupan kelompok kembali berdenyut. Mereka pun menyodorkan nama baru “Kelompok Pembudidaya ikan (POKDAKAN) Tanah Berongga. Tak berarti menghapus Kelompok Tani Sido Urip. “ Ibarat perusahaan Sido Urip itu holding-nya. POKDAKAN anak perusahaan, “ ujar Bambang sumringah. Pada perkembangannya, Sido Urip tetap menjadi label yang lebih sering disematkan orang kepada kelompok ini.
Sebenarnya , lele bukan hal asing bagi penduduk di sana. Beberapa orang sudah membudidayakannya. Hanya saja berlangsung secara sporadis, tanpa dibekali pengetahuan yang memadai. Akibatnya, lebih banyak rugi daripada untung.
“Saya pernah coba pelihara lele, hampir semuanya mati,” ujar Bambang. Rugi sekali, langsung bikin kapok . Ia akhirnya kembali ke rutinitasnya menjual tahu yang diproduksi orang tuanya. Ia menghapus lele dari daftar mimpinya.
Sebetulnya, karakter tanah di Tanah Berongga cocok untuk pengembangan lele, yakni tanah liat. Dengan karakter seperti itu , kolam tak pernah menyusut meski musim kemarau karena air tak merembes ke tanah. Sebaliknya, saat selesai panen dan dikeringkan untuk musim berikutnya, kolam akan kering kerontang. Cahaya matahari akan melibas habis semua bakteri sehingga ketika lele mulai ditebar kondisinya sudah betul-betul steril. Di tempat lain, pengeringan tak pernah sepenuhnya berhasil karena selalu ada rembesan air dari dalam tanah.
Di tempat lain, biasanya budidaya dikembangkan dengan menggunakan kolam dari semen ataupun dilapisi terpal . Tentunya, butuh biaya lebih besar. Padahal, program pemberdayaan didesain menjadi budidaya massal di desa tersebut, yang bisa dikembangkan penduduk dengan memanfaatkan tanah pekarangan
Dalam perjalanannya, program ini sempat tersendat pada tahap awal. Bibit yang ditebar banyak yang mati. Anggota kelompok mulai berguguran. Dari tujuh belas belas anggota kelompok, hanya sebelas orang yang bertahan . Mereka terus saling menyemangati, sampai akhirnya berhasil mengatasi rintangan. Bambang ingat persis saat panen perdana, beberapa anggota kelompok sampai menitikkan air mata.
Kepercayaan diri yang hampir roboh perlahan tegak kembali. Kolam budidaya milik kelompok yang tadinya hanya delapan kolam, tahun berikutnya berkembang menjadi enam belas kolam. Tak hanya kolam pembesaran, tapi juga pembibitan. Selain di jual ke luar, bibit itu juga untuk melayani kebutuhan internal. “ Dulu bibit susah. Harus pesan dulu, “ ujar Bambang. Kepercayaan terhadap kelompok kembali pulih. Anggota yang tak aktif , kembali beredar. Bahkan sekarang sudah berkembang menjadi 23 orang. “ Tiap anggota minimal dapat tambahan uang dapur dari lele 1,5 juta per bulan ” kata Bambang. Bahkan dirinya mengaku mendapat tambahan dari lele sekitar Rp 3,5-5 juta perbulan .
Tak hanya bersandar pada kolam milik kelompok, tiap anggota diberi keleluasaan untuk membudidayakan di tempat masing-masing. Bambang sendiri mempunyai delapan kolam pembesaran dan satu kolam pembibitan.
Dengan lele, Tanah Berongga mendaki ketenaran. Bambang menyebutkan ia dan kelompoknya masih punya mimpi. “ Kami ingin Tanah Berongga jadi kampung lele, untuk seluruh Aceh,” ujarnya. Ingat lele, ingat Kampung Berongga.
Untuk mewujudkan mimpi tersebut, tak ada jalan lain kecuali memperluas kolam, dan mengajak sebanyak mungkin penduduk terlibat. “Sudah banyak yang mau, tapi terbentur modal,” ujar Bambang Sutrisno. Untuk memulai budidaya, untuk seribu ekor lele dibutuhkan tak kurang dari Rp 1,2 juta untuk bibit dan pakan. Itu pun kalau budidaya dilakukan di atas lahan sendiri. Kurang dari seribu dipastikan, budidaya tak ekonomis
Untuk mengatasi permodalan tersebut, dibentuklah Lembaga Keungan Mikro (LKM) Maju Bersama. “LKM ini dibentuk salah satunya untuk mengatasi kesulitan permodalan. “ ujar Agus Nuraji. Sekretris Lembaga Pengkajian, dan Pemberdaya (LP2K) Tamiang.
LSM ini dipercaya PT Pertamina EP untuk melakukan pendampingan sampai penduduk Tanah Berongga bisa mandiri. Setiap tahun selalu ada program baru untuk penguatan kelompok. Tahun ini direncanakan pengembangan produk turunan dari lele, seperti abon,kerupuk, nugget, Dll. Kegiatan ini akan melibatkan ibu-ibu di sana sehingga lebih produktif, seperti dilakukan Sulastri.
Pengolahan produk turunan ini bisa menolong jika harga lele sedang jatuh, seperti Desember tahun lalu sempat Rp 13.000 ribu per kg. Tapi tak lama kemudian membaik, menjadi Rp 16.000 per kg. Dengan harga seperti itu, biasanya petani lebih memilih menjual langsung daripada mengolah
LP2K pula yang membukakan akses pasar dengan mengenalkan ke beberapa pengepul, sampai akhirnya, permintaan membludak melebihi kemampuan panen. Dalam dua hari, permintaan bisa mencapai 200 ton. Permintaan itu baru bisa dipenuhi per empat hari.
Dengan LKM Maju Bersama diharapkan kesulitan modal itu terpenuhi, Semakin mencorongnya Tanah Berongga dalam budidaya lele membuat kepercayaan stakeholder meningkat. Pemerintah Kabupaten pun mulai mengulurkan bantuan permodalan. Untuk tahap pertama, sebesar Rp 20 juta, Dana itu nantinya akan diputar dengan dipinjamkan ke anggota yang membutuhkan. Seperti juga koperasi lain, LKM Maju Bersama dilengkapi AD/ART.
Tiap anggota, diharuskan membayar simpanan pokok sebesar Rp 10.000 dan simpanan wajib sebesar Rp 2.000 setiap kali pertemuan , yang diadakan per minggu. Lima puluh persen keuntungan akan dikembalikan kepada anggota berupa SHU. Sisanya dipakai untuk cadangan, pendidikan anggota, insentif pengurus, sosial, dan dan audit.
Kenapa tak minta bantuan modal kepada PT Pertamina EP ?. “ Kita mencoba mandiri. Jangan sebentar-sebentar minta bantuan , “ ujar Hadiono, yang dipercaya menjadi Ketua LKM Maju Bersama. Sikap ini jauh berbeda dengan saat-saat awal PT Pertamina EP masuk ke kampung tersebut. Ketika itu bohlam putus pun, langsung minta ganti ke PT Pertamina EP.
Hadiono dipercaya sebagai Ketua LKM Maju bersama karena dianggap berjasa menciptakan ramuan “ajaib” yang bisa meningkatkan produktivitas lele . Hadiono yang tak tamat SMP berhasil menemukan formula Jamu yang ampuh meningkatkan produktivitas lele. JIka di tempat lain, dari 1000 ekor benih, maksimal hanya dihasilkan 100 kg. Berkat ramuan jamu ciptaan Hadiono , di sini bisa mencapai Rp 120 kg sampai 140 kg.
Kampung pun kini lebih sumringah. Hampir tiap rumah memanfaatkan pekarangannya untuk budidaya lele. “Biaya jamu untuk seribu ekor lele sekitar Rp 50 ribu,” ujar Hadiono, kini 45 tahun,
Tambahan biaya untuk jamu ini terkompenasasi hasil panen yang lebih berat . Dengan kelebihan 20-40kg, setelah dikurangi Rp 50 ribu untuk pangan , pembudidaya masih bisa mengantongi kelebihan Rp 200 ribu sampai Rp 400 ribu dibandingkan pembudidaya konvensional , Dengan kenaikan harga pakan, praktis kalau hanya menghasilkan 100 kg, margin yang didapat sangat tipis, tak sampai seratus ribu. “ Tapi lele kami lebih berat, bukan hanya karena jamu, “ujar Hadiono merendah .
Jamu lele lahir, sebetulnya dari keputusasaan. Tiga tahun lalu semua anggota kelompok tani “Sido Urip” lemas saat mendapati lele yang dipeliharanya banyak yang mati. Padahal, mereka mulai menggantungkan harapan, bahwa lele bisa mengatrol periuk mereka. Penyuluh dari Badan Penyuluh Pertanian, Kabupaten Tamiang menyarankan untuk memakai bibit lokal yang dibenihkan di Tamiang . Sebelumnya, mereka mendatangkan bibit dari Banda Aceh. Dengan jarak pengiriman yang jauh, banyak lele stress.
Saat bersamaan , Hadiono teringat pada kebiasaannya memberikan jamu pada ayam peliharaannya. Dengan jamu itu, ayamnya lebih sehat, jauh dari penyakit. Dengan berbagai modifikasi, akhirnya tercipta jamu lele. Usul Pak Penyuluh plus jamu lele racikan Hadiono kembali menghidupkan asa. Lele yang ditebar bisa berumur panjang dan bertahan sampai panen. “ Jumlahnya malah nambah, “ujarnya.
Biasanya dari pembelian 1.000 bibit, penjual memberi bonus , seratusan ekor. Karena tak ada yang mati, saat dihitung otomatis jumlahnya lebih dari seribu. “Pokoknya kalau lele sudah mau makan, tenang kita, “ ujar Hadiono. Jamu lele itu memang dicampurkan ke dalam pakan, tidak ditebar langsung ke kolam.
Selain lebih berat , daging lele pelahap jamu lebih renyah, tak terlalu berlemak. Si lele juga akan lebih tahan terhadap serangan penyakit. Seperti juga khasiat jamu terhadap manusia, jamu racikan Hadiono ini akan menambah nafsu makan lele. Tak mengherankan, lele dari Tanah Berongga kini lebih diburu konsumen, meskipun harganya sedikit lebih tinggi dibandingkan di pasaran.
Selain jamu, Hadiono juga berhasil menciptakan formula organik, biasa disebut EM ( effective microorganism) untuk menjaga PH air tetap ideal. PH air ini untuk lele harus dijaga berkisar antara 6 sampai 8. “Bisa memakai bekas sayur-sayuran di pasar,” ujar Hadiono . Ia mengaku ketrampilannya meracik jamu maupun EM didapat dari kursus-kursus yang diikutinya.
Hadiono lebih rajin dibandingkan yang lain mengikuti pelatihan-pelatihan untuk petani yang diadakan berbagai lembaga. Tentu saja gratis. Oleh teman-temannya, sesama anggota Kelompok Tani Sido Urip , Ia kerap dijuluki dijuluki “tukang sekolah”. Sido Urip sudah berdiri sejak 1995. Jangan kaget, meski di Aceh, nama kelompoknya berbau Jawa.
Di wilayah Tamiang, termasuk Tanah Berongga kebanyakan memang pendatang dan etnis Jawa yang paling dominan . Setiap ada tawaran mengikuti pelatihan gratis, yang paling rajin mengacungkan tangan minta dikirim, ya Hadiyono.
Meski terbukti paten menggemukkan lele, Hadiyono tak berniat mengkomersialkan temuannya. Resep dia bagi gratis kepada semua pembudidaya lele yang membutuhkan, baik dari Kampung Berongga maupun dari luar. “ Cita-cita kita sejak awal sejahtera bareng, “ ujar Hadiono. Bersama Kita Sejahtera.
- Danrem Dikuasai Kolonel Angkatan 1990-an, Anak Try Sutrisno dan Menantu Luhut Bersaing Jadi Jenderal
- Menyigi Potensi Peraih Adhi Makayasa Polri Beroleh Pangkat Tertinggi
- Kursi Jenderal untuk Jebolan Akademi TNI 1993
- Tahun 2015 Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia Capai 5 juta orang
- Bintang Terang Alumni Akmil 1989
INDRAMAYU - Indramayu memiliki peluang atau kesempatan kerja yang cukup besar, namun tidak diimbangi