Ironi Pelabuhan Cilamaya Yang Korbankan Migas Demi Industri Jepang
Credit by: Pembangunan pelabuhan Cilamaya (Ist)

Jakarta, PINews.com - Pengamat kebijakan publik, Prof. Tjipta Lesmana, mensinyalir bahwa rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya merupakan proyek pesanan Jepang. Pasalnya, banyak pabrik otomotif merek Jepang yang dibangun di kawasan Karawang, Jawa Barat, khususnya sekitar Cilamaya. Pembangunan pelabuhan itu untuk memudahkan pengiriman suku cadang dan hasil produksi.

Menurutnya, ironis jika pemerintah hanya mementingkan pembangunan pelabuhan tersebut demi melayani produsen otomotif, terutama yang memproduksi kendaraan murah. Sebab, maraknya mobil murah justru menambah kemacetan dan menyedot konsumsi BBM bersubsidi nasional.

"Ini kontradiktif sekali. Apakah ini kepentingan Jepang? Yang saya tahu, pabrik mobil merek Jepang ada di sana semua. Jadi butuh pelabuhan. Terlebih kalau konsultan perencanaannya Jepang," ungkapnya, Selasa malam (2/8).

Masalah BBM, kata Tjipta, adalah masalah yang sangat besa dab membuat Jokowi-JK pusing sekali. Untuk itu, produksi migas atau energi nasional harus diprioritaskan. sehingga lapangan  Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang sudah beroperasi, tidak boleh ditutup hanya gara-gara memenuhi keinginan industri otomotif.

"Kan pelabuhan bisa digeser ke tempat lain. Kalau kandungan migas di perut bumi kan tidak bisa dipindah. Ngga bisa hanya demi kepentingan industri otomotif, migas dikalahkan. Migas itu sangat vital bagi kita. Produksi atau lifting harus ditingkatkan, bukan malah dipotong. Nggak boleh itu," tegasnya.

Terlebih, kata Tjipta, produksi minyak nasional saat ini masih di bawah angka kebutuhan konsumsi dalam negeri. Kalau produksi keempat terbesar nasional itu ditutup, maka produksi migas kian melorot. "Akibatnya, lifting makin turun. Produksi migas nasional sekarang saja hanya 800 ribuan barel per hari, sedangkan konsumsi mencapai 1,6-1,8 juta barel per hari," ujarnya. Selain itu, menurutnya, mencari potensi cadangan migas sangat susah, sehingga titik-titik yang sudah diketahui potensi minyaknya, seperti di Blok ONWJ, harusnya bisa dieksplorasi, bukan ditutup.

Karena itu, Tjipta sangat setuju dengan keputusan pemerintah yang dikabarkan telah menunda rencana pembangunan pelabuhan tersebut. Bahkan presiden terpilih Joko Widodo pun sempat mengatakan, bahwa proyek akbar itu harus dikaji ulang.

"Saya setuju, daripada kita cari dan bangun yang baru,  serta nyari itu susah. Kalau sumur sampai harus ditutup, tentu pemerintah Indonesia sangat rugi, sebaiknya dibatalkan, rugi kita," tandasnya.

Pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai bahwa pembangunan tidak boleh hanya menguntungkan satu sektor dan mematikan sektor lain. Seperti rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang akan mematikan produksi minyak dan gas  Blok ONWJ, yang merupakan produsen minyak terbesar keempat serta gas ketujuh nasional.

"Ini tidak seharusnya di Cilamaya karena ada potensi minyak, itu yang seharusnya dikoordinasikan jauh-jauh hari," tandasnya.

Enny menegaskan, jika pemerintah konsisten dengan Rencana Umum Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang dulu dikenal dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), maka tidak akan terjadi ego sektoral seperti kasus di Cilamaya. "Kalau di RUTR itu sangat potensial untuk eksplorasi minyak, mestinya tidak diganggu dengan kepentingan yang lain (pelabuhan-Red.). Kan rencana pembangunan pelabuhan bisa dipindahkan," tandasnya.

Enny menegaskan, pemerintah harus konsistensi terhadap RUTR/RTWW supaya tidak saling tumpang tindih. Terlebih sektor energi yang sangat menopang industri, dan sektor industri tentunya tidak boleh mematikan sektor itu. "Itu akibat ego sektoral yang harus dijauhkan untuk ke depan."

Editor: Rio