Menunggu (Akhir) Kegalauan Si Doel
Credit by: falcon pictures

Saya memang tidak memiliki harapan berlebih saat bersama istri memutuskan untuk membuka aplikasi M-Tix, dan memesan tiket fim Si Doel: The Movie. Mungkin, sepenggal kenangan masa lalu yang mendorong untuk menonton film yang mewarnai masa-masa remaja generasi 90-an ini. Saat melangkah ke gedung bioskop, saya pun masih bertanya-tanya dalam hati, akankah film ini sukses?

Sejujurnya, film Si Doel: The Movie yang berlatar Betawi tidak menawarkan cerita yang baru. Film yang tayang perdana pada Kamis (2/8/2018), ini merupakan kelanjutan dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang ditayangkan sebuah televisi swasta sekitar 20 tahun yang lalu.

Para aktor yang terlibat masih memerankan watak yang sama dengan di sinetron. Doel si peragu yang berusaha menyenangkan tiga wanita yang dicintainya – Mak Nyak, Sarah dan Zainab; Sarah yang wanita kosmopolitan namun baik hati; Zainab mewakili wanita kebanyakan yang menerima takdir apa adanya; Mandra yang spontan, kocak, primitif; Mak Nyak yang memang sedang menderita sakit glukoma masih menunjukkan karakter ibu yang kuat, penuh perhatian dan jujur apa adanya. Atun yang diperankan Suti Karno juga masih seperti dulu: lugu tapi baik hati. Andaikan pelawak Basuki yang memerankan Mas Karyo belum meninggal, tentu nostalgia terhadap film ini akan makin lengkap.  

Kisahnya masih seputar cinta segitiga antara Doel, Sarah dan Zaenab. Tetapi, boleh dikatakan film ini menjadi salah satu jawaban dari pertanyaan yang tersisa saat sinetrol Si Doel Anak Sekolahan belasan tahun silam. Bagaimana nasib rumah tangga Si Doel setelah Sarah meninggalkannya dalam keadaan hamil? Apakah dia pergi ke Belanda? Mungkinkah Doel berjodoh dengan Zainab?

Jawab-jawaban atas pertanyaan itu sebagian terjawab dalam film tersebut. Film ini dibuka dengan adegan kesibukan persiapan Bang Mandra dan Doel pergi ke Belanda, lokasi syuting yang dipilih Rano Karno, mantan Gubernur Banten yang menjadi sutradara film ini. Mereka berdua pergi ke Amsterdam atas undangan Hans (Adam Jagwani), teman kuliah Doel yang juga saudaranya Sarah. Tetapi, undangan ini hanya siasat belaka dari Sarah yang sudah 14 tahun meninggalkan Doel tanpa kabar.

Sarah yang berusaha membenci Doel malah tak mampu melupakan cinta lelaki itu. Akhirnya, dia meminta Hans untuk membawanya ke Amsterdam, meskipun dia tahu Doel sudah menikah siri dengan Zainab. Tetapi bukan hanya rindu alasannya. Sarah ingin Doel bertemu Abdullah atau Doel (Rey Bong), anaknya yang belum pernah ditemuinya.

Tanpa diketahui Doel, Hans “mengatur” agar Doel bertemu dengan Sarah di museum. Pertemuan itu pun terjadi. Doel mampu tampil sempurna sebagai pria canggung dan terkesan plin plan,  terus menipu dirinya sendiri tentang cintanya. Namun, akting Sarah terasa kaku. Dialog-dialog dalam adegan pertemuan itu kurang romantis sehingga tidak menggambarkan rasa rindu yang sebenarnya.

Emosi penonton juga tidak terlalu terkuras dalam adegan pertemuan Doel dengan anaknya di rumah Sarah. Plot ceritanya sudah dapat ditebak: si anak akan “menolak” kehadiran ayahnya namun pada akhir cerita mereka akan saling berpelukan.

Sepenggal momen romantis justru didapatkan dalam adegan perpisahan Doel dengan Sarah dekat trem yang akan membawa pulang Doel ke apartemen Hans. Teka-teki nasib perkawinan mereka mulai terkuak ketika Sarah berkata kepada Doel, “Mulai sekarang jadikan saya sebagai saudaramu”. Emosi saya makin teraduk-aduk ketika tiba-tiba lagu “Selamat Jalan Kekasih” yang dinyanyikan Wizzy, menyeruak saat mereka berpelukan. Udara dingin serasa membekukan ego untuk akhirnya menyerah pada kenyataan bahwa cinta tidak selamanya harus bersatu.

Lagu yang diciptakan Bebi Romeo dan dipopulerkan oleh Rita Effendy ini memang sangat puitis dan pernah merajai tangga lagu di era 1990-an. Saya cukup terkejut sekaligus senang ketika lagu ini menjadi salah satu soundtrack film ini. 

Yang patut diapresiasi dari film ini adalah rasa setia kawan dan kemampuan menjaga orisinalitas. Para pemainnya masih sama seperti versi sinetron, Rano Karno, Mandra, Cornelia Agatha, Maudy Kusnaedi, dan Suti Karno. Tak ketinggalan, Aminah Cendrakasih sebagai Mak Nyak.

Tentu saja Cornelia Agatha, Rano Karno, dan Mandra sudah menua dan badan mereka tidak selangsing atau segagah dulu. Aminah Cendrakasih tetap dilibatkan dalam film meskipun harus terus berbaring. Sayang, seniwati Betawi Maryati yang memerankan Munaroh – kasih tak sampainya Bang Mandra – tidak ikut main sehingga konflik percintaan dalam film ini terfokus pada plot Doel-Sarah-Zaenab.

Kehadiran para senior menjadikan tiap adegan dalam film ini serasa fakta dan bukan fiksi. Kita diajak merasakan kehidupan yang sebenarnya. Saya tidak tahu apa jadinya jika karakter Si Doel dipaksakan diganti sama pemeran lain, katakanlah Iqbaal Ramadhan meskipun berhasil dalam Dilan 1990, atau Reza Rahardian, yang gagal memerankan tokoh Benyamin Si Biang Kerok. Rasa ini yang tidak kita dapatkan saat menonton film daur ulang Galih dan Ratna saat pemeran Rano Karno digantikan Refal Hadi dan Sheryl Sheinefia menggantikan Yessy Gusman. Orisinalitas pengikat imagi para penonton.  

Film Si Doel: The Movie bagi saya menjadi sebuah oase untuk menemukan kembali sebuah kesederhanaan, kepolosan, sopan santun, dan tentu saja rasa setia kawan. Lihatlah adengan anak Atun yang mengendap-endap ketika pulang malam dan kepergok enyaknya. Atuan tidak menegur dengan kata-kata yang kasar, sementara si anak dengan sigap mengucapkan salam dan mencium tangan ibunya.

Dua adegan kecil juga mengajarkan sopan santun saat Mandra berpamitan sebelum pergi ke Belanda dan mencium tangan kakaknya. Sementara Ahong, bos pabrik batako yang naksir berat sama Zaenab dan masih membujang, melakukan hal yang sama ketika menjenguk ibunya Doel.

Celetukan dan “keprimitifan” Mandra sangat original, segar dan sedikit asem seperti asinan Betawi. Kalau mau jujur, karakter Bang Mandralah yang menjadikan film ini sukses menghibur dan mampu memancing tawa. Ketiadaan tokoh Babeh (yang dulu diperankan Benyamin S) dan Engkong (diperankan Pak Tile), menjadikan karakter Mandra sebagai penghubung sekaligus mentasbihkan film ini sebagai sebuah karya seni berlatarbelakang budaya Betawi.

Kesederhaan, kepolosan, dan kewajaran itu semakin langka dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, kita seolah memiliki dua pribadi yang berbeda – bahkan bertolak belakang – di dunia nyata dan dunia maya. Pribadi yang santun dalam kehidupan sehari-hari tiba-tiba menjadi sosok yang bar-bar, garang, intoleran, ketika berinteraksi dengan sesama di dunia maya.

Maka, pantaslah apabila pada tayang perdanya tiket film Si Doel: The Movie habis terjual. Jurang generasi tidak menyebabkan film ini sepi penonton. Mungkin lantaran sinetron ini kerap ditayang ulang di televisi sehingga cerita Si Doel tetap abadi.

Rano Karno tampaknya akan melanjutkan sekuel film ikonik ini. Bagaimana pun masih ada pertanyaan yang tersisa: apakah Doel akan move on melupakan cintanya dengan mengabulkan permintaan cerai Sarah? Ataukah Doel ingin membahagiakan keduanya? Khayalan tentang akhir kisah ini telah membelah emak-emak syantik di media sosial menjadi dua faksi: Faksi Zainab dan Faksi Sarah.

Doel, kami (memang) menunggu keputusanmu.

Editor: HAR