
Jakarta, PINews.com - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus segera menuntaskan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) untuk mengatasi krisis energi di Indonesia dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
Saat ini kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak nasional sebesat 1,6 juta barel per hari (bph) sementara kapasitas kilang hanya 1 juta bph dan produksi minyak mentah nasional 800 ribu bph. Akibatnya, Indonesia mengimpor 800 ribu bph ditambah impor bahan bakar minyak sebanyak 600 ribu bph. Total impor minyak mentah dan bbm Indonesia sebesar 1,4 juta barel per hari. Hal ini menandakan Indonesia sudah krisis energi khususnya minyak.
Penasihat Ahli Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Sampe L Purba, menyampaikan revisi UU Migas harus berdimensi jangka panjang, sesuai dengan kondisi di lapangan dan harus mempertimbangkan iklim investasi untuk menarik investasi. "Usulan SKK Migas, agar dibentuk Badan Usaha Khusus yg merupakan Otoritas Hulu Minyak dan Gas Bumi terpisah dari Pertamina untuk mengatur kegiatan hulu migas di Indonesia dengan kewenangan pengusahaan seperti menjual migas bagian negara secara langsung dan melakukan investasi di Blok Migas secara langsung sesuai amanat amar putusan Mahkamah Konstitusi," ujarnya ,dalan seminar Revisi UU Migas Untuk Ketahanan Energi Pro-Rakyat , baru-baru ini.
Pengelolaan hulu migas sebaiknya terpisah dari Pertamina sebagai BUMN karena bertujuan meningkatkan eksplorasi, menjaga efisiensi dan menerapkan prinsip good corporate governance yang transparan.
Erwin Usman, Ketua DPP Pospera Bidang ESDM, menyampaikan saat ini ada dua kutub dalam revisi undang-undang migas terkait kelembagaan hulu migas yaitu menggabungkan fungsi SKK Migas didalam Pertamina atau membentuk Badan Usaha Khusus yang terpisah dari Pertamina. "Dinamika ini perlu dicermati secara matang agar keputusan yang diambil berpihak kepada ketahanan energi yang prorakyat, " ujarnya.
Ketua Bidang Hubungan Eksternal SKK Migas Dwi Djanuarto menegaskan dari sisi pekerja yang terpenting dalam revisi UU Migas kali ini adalah jaminan terhadap hak-hak pekerja seperti yang ada dalam UU Ooritas Jasa Keuangan. “Kami ingin dalam pasal peralihan, ada klausul yang menyatakan bahwa pekerja yang akan menjadi pegawai di lembaga atau organisasi baru atau BUMN baru untuk mengelola hulu migas haruslah pekerja SKK Migas karena sudah memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam mengelola hulu migas,” katanya.
Menurut dia, apabila menempatkan pekerja baru untuk lembaga baru tersebut, akan ada dua biaya yang di keluarkan pemerintah . “Yaitu biaya pesangon dan biaya mendidik pekerja baru yang sangat mahal sekali," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, jaminan pekerjaan itu akan menjadi alat untuk mengantisipasi gejolak sosial yang timbul akibat persoalan tenaga kerja eks SKK Migas nanti. “Kita ingin iklim politik nasional stabil, iklim investasi stabil dan tidak ada gejolak atau demonstrasi dari pekerja SKK Migas."
- Danrem Dikuasai Kolonel Angkatan 1990-an, Anak Try Sutrisno dan Menantu Luhut Bersaing Jadi Jenderal
- Menyigi Potensi Peraih Adhi Makayasa Polri Beroleh Pangkat Tertinggi
- Kursi Jenderal untuk Jebolan Akademi TNI 1993
- Tahun 2015 Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia Capai 5 juta orang
- Bintang Terang Alumni Akmil 1989

JAKARTA, PINews.com - PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), subholding Refining and Petrochemical
- Pertamina Fasilitasi Sertifikasi Halal dan HaKI untuk Genjot Daya Saing UMKM
- Kabar Gembira, Produksi Minyak Pertamina Diawal Tahun Tembus 553,67 Ribu Barel Per Hari
- Kiprah 17 Tahun Pertamina Drilling Membantu Pencapaian Produksi Migas Nasional
- Ini Inisiatif Pertamina Drilling untuk mengurangi Emisi Karbon