Gelora Kemandirian Di Pesisir Karawang
Credit by: Proses pembuatan terasi super sebagai salah satu potensi masyarakat yang dikembangkan PKBM Assolahiyah (PIN)

Karawang,PINews.com - Memulai dengan “beratap langit beralaskan bumi,” PKBM Assolahiyah mentuntaskan ketunaaksaraan dan membangun kewirausahaan.

Beberapa tahun lalu Desa Pasirjaya  di Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang lekat dengan stigma buruk:  “Desa Curanmor”.  Hampir setiap hari selalu saja ada motor yang hilang.  Selain itu , para begundal  menjadikan daerah  ini  sebagai basis operasi. Kendaraan motor yang dicuri di daerah lain dikirim ke sini, kemudian dijual. Motor tanpa pelat nomor lalu lalang begitu saja.  Sebuah stasiun televisi swasta sempat mengangkatnya ke layar kaca. 

“Saat itu, penduduk di sini malu kalau mengaku warga Desa Pasirjaya,” ujar Heru Saleh kepada Portal Indonesia News beberapa waktu lalu.  Kenyataan itu memompa semangatnya untuk terus berkhidmat  membesarkan  PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masayarakat) Assolahiyah. Ia yakin  pendidikan bisa memutus mata rantai kriminal. Kalaupun tak bisa menyadarkan orang tuanya, anaknya bisa memilih jalan lebih baik dengan bekal pendidikan.

Kata Heru, semua manusia mempunyai sisi baik. Tak ada yang mau jadi maling jika tak terpaksa. Tak sekedar omong kosong, Heru membuktikannya dengan mengantarkan  lima orang  “pemetik”, sebutan untuk pelaku curanmor,  lulus dari  program kesetaraan di lembaganya. Sekarang mereka bekerja di berbagai perusahaan di Karawang.

 PKBM Assolahiyah yang  didirikan Heru Saleh pada 2006, kini jadi tumpuan harapan warga tak mampu untuk mendapatkan pendidikan. Apa boleh buat,  pendidikan gratis yang digembar-gemborkan pemerintah bagi sementara kalangan masih sekedar slogan. Pelaksanaannya jauh panggang dari api. “Seragam harus beli, LKS juga , “ ujar Siti Masyitoh, 18 tahun. LKS itu kependekan lembar kerja siswa. Dengan kenyataan seperti itu, setelah menamatkan SMP Negeri, dia tak bersemangat meneruskan ke SMA yang disebutnya akan sama saja. Dia tahu orang tuanya yang buruh tani tak akan mampu membiayainya. “Letak sekolah juga jauh. Harus pakai ojek,” ujarnya.

Toh cita-citanya untuk melanjutkan sekolah tak pernah padam. Dia pun memilih tinggal dengan neneknya di Desa Pasirjaya.  Sebelumnya dengan orang tuanya dia menetap di lain kecamatan. Dia mendengar di tempat neneknya ada sekolah gratis. Tak mengharuskan berseragam dan tak membebani dengan LKS dan sebangsanya seperti yang ditakutinya selama ini.

Tak hanya Siti Masyitoh, teman satu angkatannya yang berjumlah 20-an orang itu mendapat previlege yang sama : sekolah gratis Mereka mengikuti kejar paket C untuk setingkat SMA. Seperti sekolah biasa.mereka rutin masuk setiap hari, Yang diajarkannya meski tak sama persis mengadopsi kurikulum resmi. Bahkan nilai plusnya, sepekan sekali mereka mendapatkan pelajaran life skills, keterampilan yang bisa segera diaplikasikan sehari-hari, misalnya, keterampilan menjahit. Tiap akhir semester, juga dibagi rapor yang statusya sementara karena dikeluarkan PKBM. “Goal kita mereka bisa lulus ujian kesetaraan yang diadakan Diknas,” ujar Heru Saleh, 30  tahun.

Siswa-siswi regular pun mengenakan seragam seperti sekolah formal . “Itu permintaan anak-anak. Katanya, masa bersekolah gak pakai seragam, “ujar pria berperawakan kecil ini. Tapi seragam itu tak diwajibkannya, Anak-anak juga tak diharuskannya membeli baru. “Pakai saja yang ada bekas-bekas teman juga gak apa,” begitu Heru selalu mengatakan kepada anak didiknya.

Untuk membiayai program gratis tersebut, dia memberlakukan subsidi silang dari kelas karyawan yang mengutip bayaran Rp 1.000.000  per orang sampai mendapatkan ijazah kesetaraan. Kelas karyawan ini mulai dibanjiri peminat. Mereka datang tak hanya dari Kabupaten Karawang, tapi juga Purwakarta dan Subang, Mereka menyempatkan datang sekali setiap minggu. “Alhamdulillah, lancar ,” ujar Heru. Sejak PKBM berdiri, alumni program kesetaraan mencapai 1.000-an lebih.

 

Mengibarkan Pendidikan Luar Sekolah.

Jiwa pendidik sudah menjadi napas hidup Heru Saleh, Dia sudah ikut mengajar di SD saat masih menjadi siswa SMA yang dilanjutkannya saat dia menjadi mahasiswa  program diploma Bahasa Inggris di Universitas Karawang. Dari pengalamannya berkecimpung di sekolah formal, dia merasa ada yang kurang. “ Sekolah hanya memperhatikan anak didik sebatas jam sekolah ,” ujarnya.  Saya jadi ingat Ivan Illich, penulis Deschooling Society dan Tetsuko Kuroyanagi yang menulis Totto Chan: The Little Girl at the Window. Dari mereka, kita diingatkan bahwa ada yang salah dengan sekolah formal.

Heru Saleh percaya pendidikan adalah hak setiap orang. Bisa diperoleh dari mana saja dan dengan cara apa saja, “Di sini ekonomi kerap menjadi alasan seorang anak putus sekolah,” ujarnya. Kesulitan ekonomi menjadi problem laten masyarakat pesisir, termasuk pesisir Karawang. Karena didera kemiskinan, orang tua kerap berpikir praktis. Jika musim panen, anak disuruh ikut turun ke sawah. Lumayan bisa dapat Rp 50.000 per hari. Itu artinya beberapa hari tidak masuk sekolah. Jika sudah begitu, anak akhirnya malu untuk kembali sekolah karena absen terlalu lama. Sedangkan,sekolah pun tidak pro aktif dan membiarkan anak putus di sekolah jalan. 

Selain banyak yang putus sekolah, tidak sedikit warga yang belum bisa membaca dan menulis. Rendahnya angka putus sekolah serta buta aksara membuat akses masyarakat untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak terputus.  Dampak lainnya, angka kriminalitas meningkat pesat. Perilaku kriminal dan melawan hukum tersebut terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tingginya angka putus sekolah dan perilaku kriminal anak-anak remaja di kampungnya tersebut, membuat bungsu dari 9 bersaudara itu terlecut untuk mendirikan tempat belajar bagi mereka.  Dia memilih jalur pendidikan luar sekolah yang jam belajarnya lebih fleksibel. Dia tak melarang anak didiknya meninggalkan kegiatan belajar meski kelas regular sekalipun jika sedang musim panen atau musim tanam

Heru memulai dari kursus Bahasa Inggris dan Komputer.  Praktis hanya bermodal keinginan. Tanpa perlengkapan memadai. Belajarnya kapan saja dan di mana saja, kadang di mesjid atau di majelis taklim, sering di bawah pohon yang diistilahkan Heru “beralaskan bumi dan beratap langit”.  Bahkan kursus komputer berlangsung tanpa komputer. “ Hanya teori saja. Komputernya digambar di papan tulis, “ ujar Heru ngakak.

Pria yang lahir bertepatan  dengan hari pendidikan, 2 Mei 1986 itu menuturkan, ketika memulai program kesetaraan, banyak yang nyinyir dan memandang sinis. Bagi sebagian masyarakat, ijazah kesetaraan tidak berguna, tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi ataupun mendapatkan pekerjaan.   Ia terus meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah investasi yang tidak ternilai harganya. Pendidikan juga bisa mengubah pola pikir dan wawasan dan muaranya bisa meningkatkan taraf hidup dan perekonomian mereka. “Butuh kesabaran serta keikhlasan untuk meyakinkan mereka,”  ujar Sarjana Pendidikan Luar Sekolah Universitas Karawang (Unsika) tersebut.

Heru dan teman-temannya melakukan aksi jemput  bola, “door to door”, mengetuk rumah-rumah penduduk agar mengizinkan anaknya belajar, mendatangi sawah ataupun tempat anak-anak muda berkumpul lainnya.

Kebiasaan “blusukan” itu terus dilakukannya sampai sekarang. Jika ditemukan keluarga yang tidak mampu, selain sekolah, dia juga membuka rumahnya dengan menjadikan anak angkat. Sekarang ada satu anak yang ikut keluarganya. Bagi Heru, itu bukan sesuatu yang luar biasa, “Gak hanya saya, guru-guru di sini hampir semuanya begitu.”

Periode “beralaskan bumi beratapkan langit” berakhir pada 2010. Aktivitas PKBM mulai berpindah, menempati gudang peninggalan orang tua Heru, yang dirombaknya pelan-pelan dan dijadikan beberapa ruangan kelas, juga seadanya. “Tergantung uang, bangunnya kita nyicil, “ ujarnya.

Ada saat, murid-muriad belajar beralaskan tanah karena lantainya masih belum diapa-apakan. Dindingnya terkelupas di sana-sini, Betul-betul jauh dari kata layak, Ukurannya pun hanya selebar 2,5 meter x 5 meter. Di ruang sempit itu anak-anak belajar berdesakan.

Perlahan, kegiatan belajar di Assolahiyah terus mengalami perubahan, mulai dari fasilitas gedung yang kini lebih layak serta kelengkapan sarana dan prasarana, menyusul bantuan yang diberikan PT Pertamina EP Field Subang  Selain membantu renovasi fisik bangunan, perusahaan mengulurkan tangan untuk bersinergi memberdayakan masyarakat. dengan menggelar pelatihan menjahit.

Sama seperti kursus komputer, awalnya kursus menjahit pun berlangsung seadanya. Tidak ada mesin jahit yang tersedia di lokasi tersebut. Hanya papan nama bertuliskan “Kursus Menjahit” yang terpampang di depan lokasi PKBM Assolahiyah. Untuk menyiasatinya, ia bekerjasama dengan perusahaan konveksi yang beroperasi di sekitar wilayah tersebut, meminta kesediaan mereka memberi kursus menjahit bagi  5 mitra binaannya sampai bisa menjahit.  “Saya minta tolong ke mereka (perusahaan konveksi) untuk ngajarin jahit sampai bisa. Kemudian setelah itu, kita baru bisa beli 2 mesin jahit,” ujar Heru 

Field Subang kemudian membantu membelikan 25 mesin jahit dan menyediakan fasuilitator kursus menjahit Sampai sekarang sudah berlangsung beberapa angkatan. Selain disediakan fasilitator, mesin jahit juga dibelikan . Awalnya hanya dua sekarang sudah menjadi 20 puluh kebih.Ratusan lulusannya sudah bisa mandiri. Ada yang bekerja di pabruk ataupun berusaha sendiri. Tak sedikit yang bekerjasama dengan PKBM yang sengaja mencari peluang-peluang  ekonomi  baru dengan memanfaatkan potensi lokal.

 

Mengentaskan Kemiskinan dengan  “Jauhari “

Meski sukses mengentaskan buta aksara, Heru masih belum puas. Dia masih punya mimpi lain, mengentaskan kemiskinan. Dengan dukungan dari PT Pertamina EP Field Subang, Heru pun menggulirkan program inovasi  "jauhari",  kependekan belajar usaha mandiri. Konsep dasarnya adalah memadukan kegiatan pendidikan dan pengembagan ekonomi produktif.

Cilamaya Kulon seperti daerah persisir lainnya memang masih tertinggal. Tapi bukan berarti tanpa potensi.  Daerah ini  memiliki potensi hasil laut yang cukup menjanjikan. Salah satunya  melimpahnya udang rebon.  Turun temurun mayarakat nelayan mengolah udang rebon ini menjadi terasi. Hanya saja cara tradisional dan manajemen usaha terasi yag mereka miliki tidak banyak mambantu dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Produk terasi yang dihasilkan tidak memiliki kekhasan untuk bisa diterima pasar  lebih luas.  PKBM pun menyulapnya menjadi produk yang lebih bermartabat.

Selain terasi,  PKBM juga membuat  kerupuk dan aneka makanan yang diperoleh, dari potensi setempat, sampai produk konveksi  dengan brand slawe collection. Nama slawe diambil bukan tanpa alasan, kata slawe dalam bahasa jawa berarti dua lima, angka dua dan lima adalah sesuai dengan tanggal dan bulan dimana hari pendidikan nasional diperingati. Ini bertujuan mengingat bahwa pendidikan adalah yang paling utama. Untuk mengoptimalkan potensi ekonomi, PKBM  membuat divisi khusus kewirausahaan.

Seperti pisau bermata dua, selain menjadi pemasukan PKBM,  “jauhari”  itu menjadi amunisi pemberdayaan masyarakat. Untuk pembuatan terasi, PKBM melibatkan sekitar 50 orang warga setempat, mulai dari nelayan pencari rebon sebagai materal utama sampai pengepak. Semua produk sudah distandardisasi lembaga-lembaga terkait sehingga sangat higienis, tak ada pengawet barang.

“Alhamdulillah, perlahan kita mulai mandiri. Hasil pendidikan dan pelatihan untuk kegiatan ekonomi produktif sudah mulai memberikan hasil,” ujarnya sambil tersenyum. Ia menjelaskan ada subsidi silang, dari kegiatan ekonomi kreatif  yang dipakai  untuk operasional keseharian, sehingga kegiatan PKBM Assolahiyah tetap berdenyut, tanpa harus selalu meminta donasi ke perusahaan. 

Saat ini, produk terasi misalnya, sudah dipasarkan di rumah-rumah makan di kawasan Cikarang dan Karawang.  Demikian juga aneka kudapan dan makanan khas, bekerjasama dengan penjual  oleh-oleh di rest area jalan tol. Selain itu, ada pula ibu-ibu yang berkeliling menjual dari rumah ke rumah.

Dari hasil penjualan terasi serta aneka panganan tersebut, PKBM mendapat keuntungan  Rp 3-Rp 5 juta setiap bulan. Sementara untuk ibu-ibu yang secara mandiri menjajakan keliling rumah, bisa memperoleh atau terjadi peningkatan pendapatan antara Rp 50 ribu sampai Rp 300 ribu setiap bulan.

“Untuk 2015 ini, kita akan fokus pada pemasaran produk. Kalau selama ini kan kita sibuk pada produksi, tetapi belum memikirkan pemasaran. Tahun ini akan kita genjot ke pemasaran,” terangnya.

Asa pun terus berpendar di pesisir Karawang menuju kehidupan lebih sejahtera, seperti senyum Nurwan. Selama tiga tahun dia bersekolah gratis di PKBM sampai mendapatkan ijazah Kesetaraan C (SMA). Setelah lulus, dengan bekal ijazah itu ia sempat jadi tenaga Satuan Pengamaan di ibukota. Toh karena sesuatu hal, konraknya tak diperpanjang. Heru pun dengan tangan terbuka menerima Nurwan ketika menyatakan ingin bergabung dengan PKBM. Nurwan tak hanya mendapatkan gaji, yang menurut Heru imbalan alakadarnya, tapi juga beasiswa kuliah di PT bersama seorang relawan PKBM yang lain. 

Seperti yang diajarkan agama dan guru-gurunya, bagi Heru Saleh tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Filosofi ini terus digelorakan sebagai bekal menuju kemandirian. Dan warga Pasirjaya pun kini bisa membanggakan daerahnya,  menghapus predikat  kelam  masa lalu sebagai “Desa Curanmor”.

Editor: RI