Pejabat dan Pengusaha Terlanjur “Borong” Tanah Cilamaya
Credit by: Peta rancangan lokasi pembangunan pelabuhan Cilamaya (dephub)

Jakarta, PINews.com - Banyak pejabat daerah dan pengusaha ditengarai terlanjur membeli tanah di Cilamaya. Akibatnya, ketika Wapres Jusuf Kalla memutuskan untuk menghentikan rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya, beberapa waktu lalu, mereka sepakat menolak keputusan tersebut. “Mereka berasal dari luar Cilamaya dan Karawang. Ada yang dari Bandung, Bogor, atau Jakarta. Seorang di antara mereka adalah perempuan yang juga pengusaha taksi di Jakarta,” kata Ahmad Atoilah, Ketua Kelompok Tani Desa Pasirjaya.

Menurut Ahmad, penolakan yang dilakukan hingga sekarang itu, sangat beralasan. Sebab, ketika membeli tanah di sekitar Cilamaya, mereka berharap bisa menanamkan investasi yang menguntungkan, sebagai imbas adanya pelabuhan berskala internasional. Di atas tanah tersebut, lanjutnya, ada yang direncakanan dibangun gudang, mal, restoran, dan bahkan hotel. Namun nyatanya, ketika JK memutuskan penghentian rencana pembangunan pelabuhan Cilamaya, maka harga tanah langsung anjlok. “Sekarang tanah di sini menjadi tidak ada harganya dan tidak ada yang menawar,” katanya.

Tanah-tanah yang banyak dibeli spekulan dari luar daerah tersebut, lanjutnya, kebanyakan berlokasi di daerah dekat calon pelabuhan atau daerah-daerah yang direncakan menjadi akses utama ke pantai Cilamaya. Misalnya, Dusun Kalen Kalong Desa Cikuntul, Desa Sumberjaya, Desa Ciparagejaya Kecamatan Tempuran, sampai Desa PasirJaya Kecamatan Cilamaya Kulon. Di daerah tersebut, lanjutnya, sekitar 500-700 hektar tanah sudah dikuasai pihak luar.

Ahmad menambahkan,  pada tahun 2010, harga tanah di lokasi tersebut masih sekitar Rp50 juta per hektare atau Rp5.000 per meter persegi. Namun seiring rencana pembangunan pelabuhan, harga terus meningkat tajam, bahkan hingga Rp700 juta-800 juta per hektare.

Mengenai jenis tanah yang diburu, bukan hanya tanah tambak namun juga tanah pertanian yang produktif. Tentu saja hal ini sangat ironis, karena padi area dekat pantai dikenal memiliki kualitas tinggi. “Patok-patok merah itu tanda bahwa tanah tersebut sudah dijual,” katanya sambil menunjuk banyaknya patok di areal persawahan di Sumberjaya.

Aksi para pejabat daerah dan pengusaha dalam membeli tanah-tanah di Cilamaya, tidak lepas dari peran jaringan mafia tanah yang begitu kuat di Cilamaya. Karena sifatnya mafia, lanjut Ahmad, maka terdapat banyak sekat di antara jaringan tersebut, sehingga mereka tidak mengenal satu sama lain anggota mafia di luar sekat mereka. “Mengerikan sekali,” katanya.

Salah satu bukti betapa mengerikan aksi mafia tanah di Cilamaya, adalah penerbitan Surat Keterangan Desa (SKD) atas beberapa tanah di tepi pantai. Padahal, atas lokasi seperti itu seharusnya tidak bisa diterbitkan SKD. Menurut Intir, seorang calo tanah asal  Kalen Kalong, dengan bantuan oknum aparat desa, sebagian besar penduduk pesisir beramai-ramai memanipulasi status tanah pantai tersebut.

“Sejak tahun 2000-an sepanjang pantai Kalen Kalong, Desa Sumber Jaya itu banyak masyarakat yang menerbitkan SKD. Padahal, jika air pasang, tanah tersebut tidak terlihat sama sekali karena tergenang air laut. Di Dusun ini saja sudah 60 orang yang sudah menerbitkan SKD,” kata Intir.

Ironisnya, ada juga investor dari luar daerah yang tergiur tanah tersebut, hanya karena memiliki SKD. Tanah yang disertai dengan SKD itu, lanjut Intir, dapat dijual dengan kisaran harga Rp80 juta per hektar.

Nanang Usman, calo tanah yang juga mantan perangkat Desa Ciparagejaya mengaku, maraknya permintaan tanah di sekitar lokasi calon pelabuhan memang tinggi. Tak heran, jika pengalihan kekuasaan tanah menjadi sangat cepat. Bahkan, untuk tanah tambak di Ciparage saja, menurut Nanang, sekarang hanya tersisa 5% yang masih dimiliki penduduk asli. “Sisanya, sudah beralih kepemilikan oleh orang luar,” kata Nanang, yang mengaku memperoleh total komisi Rp500 juta dari bisnis tersebut, dan mampu menunaikan ibadah haji bersama istri. 

Editor: RI