Eks BUMN Ditelisik Soal Sjamsul Nursalim di SKL BLBI
Credit by: Eks BUMN Laksamana Sukardi saat memberikan keterangan kepada wartawan, Rabu kemarin (10/12), terkait soal Sjamsul Nursalim. (IST)

Jakarta, PINews.com - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Laksamana Sukardi penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berindikasi berbau korupsi. Sukardi menyebut salah satu yang ditelisik kepadanya terkait Sjamsul Nursalim.
"Diminta keterangan masalah pemberian surat keterangan lunas (SKL) dan saya juga diminta melengkapi informasi-informasi. Masalah SKL-nya dan juga obligor Sjamsul Nursalim," ungkap Sukardi usai dimintai keterangan oleh KPK menyangkut penyelidikan dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI, di gedung KPK, Jakarta, Rabu (10/12).

Sjamsul diketahui merupakan mantan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mempunyai utang mencapai puluhan Triliun Rupiah. Sayangnya, Sukardi tak merinci lebih lanjut mengenai obligor itu.

Sukardi mengklaimterkait penerbitan SKL sudah sesuai dengan aturan, yakni TAP MPR Nomor 10 Tahun 2000, Inpres Nomor 6 Tahun 2002 serta Undang-Undang Nomor 25 mengenai Program Pembangunan Nasional Tahun 2000. Menurut Sukardi, SKL itu diberikan kepada para obligor yang kooperatif yang menyepakati untuk melunasi kewajiban membayar utang.

"Begini jawabannya, kebijakannya kan kami. jelaskan bahwa memang ini adalah dari TAP MPR lalu ada Undang-Undang (UU) 25 mengenai Propenas tahun 2000 dan Tap MPR Nomor 10 tahun 2001, ada Inpres Presiden Nomor 8/2002 dan semuanya adalah out of core statement pemberian kepastian hukum kepada obligor. Karena dia (obligor) mau menandatangani perjanjian," terang dia.

Mantan menteri era Presiden Megawati Soekarnoputri yang dimintai keterangan sekitar 8 jam ini tak menampik ada sejumlah obligor yang melarikan diri ke luar negeri lantaran tidak mau menandatangani perjanjian. Sukardi bahkan menduga masih ada sejumlah obligor yang masih berkeliaran di luar negeri.

"Itu juga sampai sekarang saya kira mereka masih bebas. Jadi semangat dari pada UU dan TAP MPR pada saat itu untuk memberikan insentif kepada obligor yang kooperatif dan memenuhi kewajiban pemegang saham tapi bagi yang tidak kooperatif ada beberapa yang mungkin, ada 8-9 orang ternyata lari," tutur Sukardi.

Pun demikian, Sukardi menampik. anggapan adanya obligor yang kabur lantaran tidak mendapatkan SKL. Dia berdalih mencuatnya dugaan pemberian SKL menyalahi aturan atau tidak telah sesuai perundangan yang berlaku.

"Karena itu sesuai UU Nomor 25 mengenai Propenas. Yang lari tidak punya SKL, saya kira tidak benar, surat keterangan lunas itu adalah bagi mereka yang kooperatif, yang menyepakati dan melunasi kewajiban pemegang saham diberikan SKL," ujar Sukardi.

Saat disinggung tentang adanya kerugian negara sebesar Rp 144 triliun dari kebijakan penerbitan SKL BLBI, Sukardi sendiri enggan menanggapinya. "Itu lagu lamalah," tutur dia.

Meski Sukardi sempat mempertanyakan adanya obligor yang dinilai tidak kooperatif namun memperoleh keistimewaan saat terjadi peralihan pemerintah, Sukardi sepakat apabila KPK perlu memanggil 9 obligor terkait penerbitan SKL BLBI. "Saya kira perlu ya, saya anehnya juga obligor yang tidak kooperatif setelah terjadi pergantian pemerintahan ternyata mendapat red carpet gitu loh," tutur Sukardi.

Terpisah, Wakil Ketua KPK, Zulkarnaen mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan keterangan sejumlah orang untuk mendalami perkara ini. Termasuk keterangan Sukardi.

"Kasusnya kan sudah lama, banyak hal yang perlu didalami," kata Zulkarnaen melalui pesan singkat.

Bukan tanpa alasan hal itu disampaikan Zulkarnaen. Pasalnya, diklaim Zulkarnaen, perkara tersebut tergolong rumit. KPK, kata Zulkarnaen, bahkan perlu meminta pendapat ahli lantaran bersinggungan dengan sektor Perbankan.

"‪Kasusnya kan sulit, terkait perbankan, bantuan lunak BI, berkaitan dengan kredit-kredit dan penyelesaiannya," ujar Zulkarnaen.

KPK pada akhir pekan lalu mengumumkan status cegah ke luar negeri kepada pihak swasta bernama Lusiana Yanti Hanafiah. KPK semula yang kemudian mengirim surat permintaan cegah ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) terkait penyelidikan kasus pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara menyangkut perizinan pemanfaatan lahan tanah.

Penyelidikan kasus yang membawa-bawa nama Lusiana Yanti Hanafiah itu berkaitan dengan kasus penerbitan SKL BLBI. Sebab, disebut-sebut salah seorang obligor yang diduga menerima SKL BLBI itu adalah pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Syamsul Nursalim.

Syamsul dikabarkan pernah membayarkan sebuah tanah sebagai pengganti utang tersebut. Meski begitu harga tanah disebut-sebut tak sesuai dengan utang Syamsul Nursalim. Syamsul kemudian diduga menerima SKL BLBI saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Laksamana Sukardi diketahui menjabat Menteri BUMN pada periode 1999-2004. Sukardi merupakan salah satu pihak yang memberikan masukan kepada Presiden pada saat itu, Megawati Soekarnoputri, mengeluarkan Instruksi Presiden No 8 tahun 2002, untuk menerbitkan SKL.

SKL itu sendiri diberikan kepada sejumlah bank swasta yang terkena krisis moneter pada 1998-1999. Selain Laksamana Sukardi, Presiden Megawati juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono dan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti.

Laksamana Sukardi sendiri sebelumnya sudah pernah dipanggil KPK menyangkut penyelidikan kasus dugaan korupsi SKL BLBI ini. Pihak lain yang sudah dimintai keterangan adalah mantan Menteri Perekonomian, Kwik Kian Gie, mantan Menko Perekenomian Rizal Ramli dan mantan Menkeu, Bambang Subianto.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) diketahui mengeluarkan SKL dengan didasari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002. Inpres itu sendiri populer dengan sebutan Inpres Release dan Discharge yang berisi pemberian jaminan kepastian hukum terhadap debitur yang telah menuntaskan kewajibannya. Namun, SKL juga menyebut adanya tindakan hukum kepada debitur yang diketahui tidak menyelesaikan kewajibannya. Hal itu didasari oleh penyelesaian kewajiban pemegang saham.

Informasi lain, penerima SKL BLBI antara lain, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BNDI) Sjamsul Nursalim, pengusaha The Nin King, pengusaha Bob Hasan, Salim Group, dimana terungkap utang Salim Group ketika dibuatkan SKL mencapai lebih dari Rp 55 triliun rupiah. Akan tetapi dua tahun setelah SKL terbit, aset Salim Group yang diserahkan hanya bernilai Rp 30 triliun.

Berikutnya James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (PT Bank Namura Internusa dengan kewajiban sebesar Rp 303 miliar), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian, Rp 424,65 miliar), Lidia Muchtar (Bank Tamara, Rp 189,039 miliar), Marimutu Sinivasan (PT Bank Putera Multi Karsa, Rp 790,557 miliar), Omar Putihrai (Bank Tamara, Rp 159,1 miliar), Atang Latief (Bank Bira, kewajiban membayar Rp 155,72 miliar), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat, Rp 577,812 miliar).

Editor: HM