Pengamat Hukum : Pengetahuan Penegak Hukum Tentang Industri Migas Masih Minim
Credit by: Ilustrasi
Jakarta, PINews.com - Pengetahun penegak hukum tentang industri migas dinilai masih minim Mereka dinilai tidak memahami apa itu production sharing contract (PSC), bagaimana mekanisme kerja di industri migas. Sebagai negara yang memiiliki sumber daya alam, seharusnya penegak hukum juga dibekali soft skill terkait industri strategis seperti migas atau pertambangan, bukan hanya pemahaman tentang aspek hukum semata.

Penilaian itu disampaikan Pengamat Migas M Hakim Nasution diskusi publik bertema “Implikasi Putusan Pengadilan terhadap Karyawan Migas dalam mengerjakan proyek Pemerintah” yang diselenggarakan oleh Editor Energy and Mining Society (E2S), di Jakarta.

Diskusi ini mencuat setelah Mahkamah Agung (MA) memutus bersalah, Bachtiar Abdul fatah, Karyawan Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam proyek bioremediasi, dengan tuntutan 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Empat orang karyawan CPI lainnya, masih menunggu keputusan. Sebelumnya, 2 kontraktor yang mengerjakan proyek bioremediasi sudah terlebih dahulu mendeka
m di hotel prodeo.

M. Hakim Nasution, pakar hukum migas yang juga pern
ah  menjadi saksi ahli untuk kasus ini mengatakan, dilihat dari fakta hukum dan bukti-bukti selama persidangan, karyawan Chevron maupun kontraktor proyek bioremediasi tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dituduhkan. Kasus bioremediasi lebih kuat elemen politis ketimbang aspek hukum.

“Ini 
 kasus  yang aneh. Bermula dari laporan orang yang kalah tender kemudian menjerat orang yang baru duduk di posisi proyek tersebut ke meja hijau dan dipenjara. Ada keganjilan. Mereka (terdakwa) dizolimi,” ujarnya.Keganjilan ini, lanjut pria yang pernah 20 tahun bekerja di industri migas, karena minimnya pengetahuan penegak hukum tentang industri migas.

Kalau saja penegak hukum memahami tentang mekanisme di sektor migas, tentu akan mengerti persoalan lebih jauh dan lebih jernih dalam memutus perkara. Dan tidak menjadikan aspek politik sebagai pertimbangan dalam memutuskan sebuah kasus.

“Atas dasar tuduhan “dapat” merugikan negara, tetapi negara juga kehilangan pendapatan dalam jumlah yang lebih besar lagi,” ujar Hakim yang sejak 2005 membuka kantor konsultan hukum ini.

Dalam mengerjakan pekerjaan di sektor migas, pengawasannya ketat dan berlapis karena harus melalui persetujuan pemerintah. ada audit yang berkali dilakukan mulai dari internal perusahaan juga oleh SKK migas. Mulai dari  rencana tender, pengumuman dan penunjukan semuanya harus melalui persetujuan SKK Migas.

“Dalam kasusu Chevron, semua saksi ahli sudah dimintai pendapat. Namaun semuanya tidak ada yang dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara,” ujarnya.

PSC dinaungi oleh undang-undang perdata. Walaupun memang bisa dipidanakan kalau memang karyawan melakukan tindak pidana. Bahkan jika memang ada unsur pidana sekalipun, mekanisme perdata dan administrasi harus terlebih dahulu diselesaikan. Tindak pidana adalah ultimum medium, tindakan yang paling akhir.  “Kalau ada venue lain sebelum pidana lakukan dulu. Didik dulu,” demikain ungkapnya lagi.
Editor: RI