Menuju Transisi Energi, Lima Inisiatif Disiapkan Kilang Pertamina Internasional

Penulis: L Hermawan - Waktu: Rabu, 17 November 2021 - 07:58 AM
Credit by: DE/dok

JAKARTA - Tren kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan petrokimia di Tanah Air hingga 2030 diperkirakan terus meningkat. Di sisi lain, kapasitas kilang belum bisa memenuhi kebutuhan BBM maupun petrokimia sehingga Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap impor.

Djoko Priyono, Direktur Utama PT Pertamina Kilang International (KPI), mengatakan kebutuhan BBM diperkirakan mencapai 1,5 juta BOPD hingga 2030, sedangkan kapasitas kilang saat ini 700 ribu bopd atau ada gap sekitar 800 ribuan BOPD. Sementara itu, kebutuhan petrokimia hingga 2030 mencapai 7.646 kilo ton per tahun. Saat ini di dalam negeri baru bisa memproduksi produksi 1.000 kilo ton per tahun.

“Untuk mengatasi gap tersebut sekaligus menuju transisi energi, ada lima inisiatif di sektor energi dan petrokimia yang dilakukan KPI,” kata Djoko pada Webinar Kilang Dalam Transisi Energi, Roadmap Pengembangan Kilang dan Petrokimia, Green Fuel Serta Hilirisasi Produksi yang digelar Energy and Mining Editor Society (E2S).

Menurut Djoko, lima inisiatif adalah arah yang dilakukan kalau terjadi penurunan konsumsi BBM, yakni konversi dari produk BBM ke bahan baku petrokimia hingga petrokimia. KPI akan melakukan perubahan Refinery Development Masterplan (RDMP). Sebelum 2020 solar masih impor, dengan adanya B10-B20   hingga kini tidak ada lagi impor solar dan avtur.

“RDMP fokus pada gasoline perta series, yang sampai 2030 diprediksikan masih ada gap sehingga beberapa Refinery Unit fokus pada gasoline pertaseries, Selain itu, kami juga meningkatkan kualitas produk dari Euro 2 ke Euro 5,” ungkap Djoko. 

Untuk GRR Tuban diharapkan mampu memproduksi 30 persen kebutuhan petrokimia di dalam negeri. Pengembangan petrokimia juga dilakukan dengan meningkatkan produksi PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), anak usaha KPI. Hal ini dilakukan apabila kebutuhan BBM bisa disubstitusi ke energi terbarukan. “Akan di-convert ke petrochemical untuk kebutuhan dalam negeri. Apalagi saat ini kebutuhan petrochemical dalam negeri 70 persen masih impor,” kata dia.

Inisiatif lainnya, lanjut Djoko, KPI akan mengembangkan produk turunan kilang, akan diperhatikan sampai betul-betul produk turunannya, seperti untuk bahan baku ban maupun parafin. Semua bahan baku ada di kilang untuk produk produk tersebut sampai pada end customer. KPI juga akan mengembangkan biorefinery, feedstock dari sawit. “Ini dalam upaya mengantisipasi transisi energi, juga dalam rangka konversi apabila terjadi penurunan konsumsi BBM. Tentunya akan sangat mengurangi CAD pemerintah apabila petrokimia bisa diproduksi dalam negeri,” kata Djoko.

Joko Widi Wijayanto, Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis, mengatakan berdasarkan data Pertamina Energy Institute, bisnis fuel akan  menghadapi tantangan dengan gross margin US$12 per barel dan spread gas oil di posisi 17. Selain itu, ada gross margin di produk petrokimia. Sementara harga minyak pada 2030 diperkirakan US$54 per barel.

Proteksi produk kimia berdasarkan dari Argus juga pada 2040 kapitalisasi konsumsi petrokinia US$2,6 miliar. Saat ini Indonesia masih defisit 3,2 juta ton per tahun. Dari polypropylene kapitalisasi nilai produk yang diperlukan ada US$5,9 miliar.

“Yang jelas saat ini ke depan bisnis BBM yang dikelola oleh refinery akan mengalami tantangan, yakni pergeseran demand akibat transisi energi dan gross margin masih tertekan,” kata Joko Widi.

 KPI akan beradaptasi dengan merencanakan produksi petrokimia dari bahan baku yang dihasilkan kilang. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi dalam bisnis BBM yang dikelola ke depan. Selain karena pergeseran demand akibat transisi energi juga dipengaruhi gross margin bisnis pengolahan BBM yang masih tertekan. “Selain mendapatkan US$54 per barel, KPI bisa membantu menekan CAD (current account deficit) yang masih tinggi dengan rencana memproduksi produk petrokimia,” kata Joko Widi. 

Menyusun Timeline

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, mengatakan Kementerian ESDM akan mendorong terus Pertamina menjalankan program mandatori biofuel berbasis hidrokarbon yang sudah tertuang dalam roadmap hingga 2030.

Pada September 2021, Menteri ESDM meluncurkan bioavtur untuk pesawat terbang yang sekaligus menunjukkan Indonesia sudah bisa memproduksi bioavtur dengan teknologi sendiri. “Untuk berbasis hydro karbon, di Plaju outputnya bioavtur. Di Cilacap sedang berjalan, termasuk pengembangan katalis di Cikampek,” kata Dadan.

Menurut Dadan, beberapa hal yang disiapkan terkait pemanfaatan green fuel dengan kilang adalah menyusun timeline persiapan implementasi beyond B30, menyepakati spesifikasi untuk pencampuran untuk beyond B30, memastikan ketersediaan feedstock, dan kesiapan badan usaha. Selain itu memastikan industri penunjang, mempersiapkan regulasi pendukung, mempersiapkan roadtest yang melibatkan stakeholder terkait serta memastikan ketersediaan pendanaan/insentif, infrastruktur pendukung dan melakukan sosialisasi secara masif.

Muhidin, Koordinator Pengolahan Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM, mengatakan ke depan  dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk dan perkembangan yang ada kebutuhan migas meningkat.  “Dari sisi volume sangat besar harus diambil langkah strategis untuk mendukung dicapainya kedaulatan energi. Kalau kita tetap bergantung energi fosil dengan produksi yang minyak yang berkebutuhan pada bahan bakar sangat besar,” katanya.

Menurut Muhidin, pengembangan kilang dan GRR akan mengurangi impor BBM. Degan pemanfaatan biofuel ketergantungan pada impor BBM juga akan berkurang. “Di Pertamina juga ada kilang biorefinery. Ini terobosan yang bagus dengan bahan baku dari CPO mapun RDPO. Ketergabtungan juga akan berkurang dan selain  itu produk yang dihaslikan ramah lingkungan. Sehingga emisi dari gas buang dan industri menjadi lebih bagus,” ungkapnya.

Sementara itu, Salis S Aprillian, Vice Chairman of Indonesian Gas Society (IGS), menjelaskan minyak bumi tidak hanya BBM, tapi juga bisa memproduksi petrokimia. Dengan integrasi dan konversi, minyak di seluruh dunia akan bertransformasi karena ke depan ada tiga yang harus ditakuti oleh pengusaha di bisnis energi. “Dekarbonisasi, desentralisasi, dan digitalisasi. Teknologi saat ini akan mendisrupsi semua pelaku pengguna energi sehingga harus comply. 3D ini mengatur  peran di feature energy,” kata Salis.

Editor: Dudi Rahman