Kasus Dugaan Kredit Fiktif BankPermata: Penasihat Hukum Minta Dakwaan Jaksa Dibatalkan

Penulis: Alamsyah - Waktu: Kamis, 27 Agustus 2020 - 10:31 AM
Credit by: dok.suaramerdeka.news

Jakarta, PINews.com - Delapan orang karyawan Bank Permata dituntut kurungan lima tahun penjara dan membayar denda Rp5 miliar. Mereka divonis kredit fiktif untuk proyek  pipanisasi avtur terminal bahan bakar minyak Makassar ke Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Salah satu Kuasa Hukum terdakwa dalam sidang pembelaan menilai, dakwaan Jaksa banyak kejanggalan. Ada upaya kriminilasisasi terhadap kasus ini, pun terjadi cacat formil. Dakwaan Jaksa, seharusnya batal demi hukum.

“Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum harus dinyatakan ‘Batal Demi Hukum’ karena banyaknya pelanggaran-pelanggaran KUHAP maupun HAM yang telah terjadi dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, selain juga terdapat cacat formil dalam Surat Dakwaan yaitu dengan mencantumkan peraturan perundang-undangan yang ternyata sudah kedaluarsa dan telah dinyatakan tidak berlaku lagi,” tegas Penasehat Hukum Didit Wijayanto dalam Pledoi Pembelaan atas nama terdakwa Ardi Sedaka, dalam lanjutan sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu,(26/8).

Dalam pledoinya tersebut,  Penasihat Hukum menilai Penyidik berperan ganda menjadi “Saksi Pelapor”. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 26 jo pasal 27 jo pasal 185 KUHAP, dan yang merupakan suatu tindakan yang disebut “abuse of power.”  Sebab para Saksi menyatakan tidak memahami mengenai pasal-pasal yang disangkakan, tidak mengetahui siapa pelaku (tersangka), tidak memahami perbuatan pidana apa yang dilanggar, dan bahkan tidak memahami mengapa dirinya diminta keterangan sebagai saksi.

”Sesuai dengan keterangan berbagai Ahli yang dihadirkan dalam persidangan, maka disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak melaksanakan tugasnya secara benar, tidak profesional, tidak cermat, tidak teliti dan menimbulkan cacat formiil sehingga dakwaan harus dinyatakan “Batal Demi Hukum,” imbuh dia.

Dalam pledoi tersebut,  penasihat hukum mengatakan, permintaan agar Jaksa Penuntut Umum(JPU) membatalkan dakwaan mengacu kepada keterangan Ahli Pidana Dr. Chaerul Huda SH MH,  Ahli Hukum Pidana Hendra Ruhendra SH MM, Ahli Hukum Pidana Dr. Eva Achjani Zulfa SH MH,  Ahli Hukum Pidana Dr. Dian Andriaean Daeng Tawang SH MH dan keterangan Ahli Hukum Abdul Wahid Oscar SH MH).

Penasihat hukum juga menyatakan bahwa ternyata seluruh dokumen yang disita dan dihadirkan dipersidangan hanya berupa fotokopi saja, sehingga jelas tidak memiliki nilai pembuktian dalam perkara tipibank, dan tidak dapat digunakan sebagai “Barang Bukti” untuk menghukum terdakwa Ardi Sedaka.

Sebelumnya,  Jaksa Penuntut Umum (JPU), menuntut delapan terdakwa kasus dugaan kredit fiktif Bank Permata dengan hukuman masing-masing 5 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (19/8/2020).

JPU Bobby M mengatakan, pihaknya menuntut terdakwa Ardi Sedaka, Denis Dominanto, Eko Wilianto, Muhammad Alfian Syah, Yessy Mariana, Henry Hardijaya, Liliana Zakaria, dan Tjong Chandra dengan hukuman 5 tahun penjara karena secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 49 ayat 2 b Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 5 tahun dikurangi masa tahanan, dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun,” ujar Bobby, di PN Jakarta Selatan, Rabu (19/8).

Sementara itu, salah satu tim kuasa hukum terdakwa Irawan Sutanto mengatakan, tuntutan 5 tahun terlalu berlebihan diberikan kepada para terdakwa yang berstatus sebagai pegawai bank. Sementara Johnny Komisaris PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL), selaku debitur atau pihak yang meminjam uang kepada Bank Permata hanya dijatuhi hukuman 22 bulan.

“Tuntutan lima tahun, sementara debiturnya, katakan yang membobol, (hanya)  22 bulan.Sekarang, pegawai dituntutannya lima tahun, plus Rp5 miliar. Direkturnya enggak dituntut. Saya sampai sekarang nggak tahu, apakah sudah P21 (berkas dinyatakan lengkap) saya nggak tahu. Ya mudah-mudahan majelis hakim menggunakan hati nuraninya,” kata dia.

Irawan menuturkan, ke depan pihaknya akan mencoba membantah dakwaan dan tuntutan melalui nota pembelaan atau pledoi.

“Kita akan mencoba dari dakwaan dan tuntutan kami akan membantah. Mereka (terdakwa) semua sudah melalui prosedur. Kalau lalai pun, lalai kan tidak berarti terus dia ada kesengajaan, ada niat busuk atau bermain. Terima uang juga nggak. Johnny di persidangan ngomong dia tidak pernah memberikan uang kepada satu orang pun dari delapan terdakwa. Dulunya saat di polisi ada pasal TPPU, tapi didrop juga. Ini cuma pelanggaran SOP (standar operasional prosedur),” jelas dia.

Menurutnya, para terdakwa sebenarnya telah melakukan pengecekan terhadap proyek, namun tidak semua atau bersifat random. “Ke lapangan mengecek, memang ini proyeknya. Cuma ternyata orang ini palsu. Memang sudah mengecek ke lapangan, tapi ada dua yang tidak, jadi diambil random,” tandasnya.

Menurut data Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kasus ini terdaftar dalam tiga nomor perkara pada 17 Juni 2020. Pertama, dengan nomor perkara 664/Pid-Sus/ 2020/PN JKT.SEL, dengan terdakwa Eko Wilianto, Muhammad Alfian Syah, dan Yessy Mariana.

Kedua terdaftar dengan nomor perkara 665/Pid-Sus/ 2020/PN JKT.SEL, terdakwanya atas nama Denis Dominanta, Tjong Candra, dan Henry Hardijaya. Sementara, perkara ketiga teregistrasi dengan nomor perkara 666/Pid-Sus/ 2020/PN JKT.SEL, sebagai terdakwa Ardi Sedaka dan Liliana Zakaria.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, kasus ini terjadi pada bulan Desember 2013 hingga Mei 2015. Bermula ketika Johnny selaku Direktur PT Megah Jaya Prima Lestari (PT MJPL) mengajukan fasilitas kredit ke Bank Permata  dengan tujuan pembiayaan tujuh kontrak pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana di lingkungan Pertamina dengan nilai keseluruhan kontrak sebesar Rp1,6 triliun.

Kredit itu disebut akan digunakan untuk proyek pembangunan pipanisasi avtur terminal bahan bakar minyak Makassar ke Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.

Dugaan kredit fiktif mencuat ketika kredit PT MJPL macet, medio Oktober 2017. Direksi baru Bank Permata kemudian melakukan konfirmasi proyek MJPL kepada Pertamina. Selanjutnya, Pertamina menjawab melalui surat, dan baru diketahui kalau tujuh kontrak MJPL ternyata fiktif atau tidak ada, sehingga Bank Permata diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp755 miliar. 

Editor: