Jakarta-PINews.com,- Kegiatan pertambangan ilegal masih marak terjadi di seluruh Indonesia. Padahal kegiatan ini sangat berisiko mulai dari keselamatan kerja, kerusakan lingkungan hingga kerugian negara akibat kehilangan potensi penerimaan negara.
Dari aspek keselamatan, sering terjadi kecelakaan yang berujung kematian bagi penambang. Seperti yang terjadi di tambang ilegal Bakan, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Sepanjang tahun ini saja sudah terjadi beberapa kali kecelakaan tambang yang berujung kematian. Pada 26 Februari 2019, terjadi longsor di Busa, salah satu lokasi di tambang Bakan. Ada puluhan penambang yang tertimbun reruntuhan. Dari kegiatan evakuasi, ada 21 yang ditemukan meninggal dunia. Sementara 19 orang yang berhasil diselamatkan.
Kemudian dua bulan berselang, kembali terjadi kecelakaan yang menewaskan satu penambang. Terbaru pada 29 Juli 2019, dua penambang ditemukan meninggal tertimbun longsoran.
“Semua pihak yang berkepentingan harus segera melakukan penertiban tambang ilegal di Bakan. Selama ini tambang ilegal ini telah menjadi kuburan masal karena sudah banyak korban jiwa,”kata Rafiq Mokodongan, Direktur LSM Swara Bogani dalam Diskusi Media bertajuk 'Mencari Solusi Penertiban Tambang Ilegal" di Jakarta, Senin (19/8).
Ia membantah anggapan bahwa di tambang ilegal tersebut ada kehidupan karena sebagian rakyat menggantungkan hidupnya dari sana. “Kita jangan sampai melegalkan suatu yang ilegal, tambang Bakan sudah menelan banyak korban jiwa”tandas Rafiq.
Dalam nada yang hampir sama Kepala Seksi Perlindungan Lingkungan Direktorat Jenderal Mineral Dan Batubara Kementerian ESDM, Tiyas Nurcahyani menuturkan, pihaknya mendesak aparat kepolisian untuk melakukan penindakan.
"Saat kemarin langkah pertama pertolongan ketika ada longsor. Lokasi tersebut harusnya ditutup, karena masuk di wilayah yang berizin. Seharusnya yang punya ini ditolong oleh aparat penegak hukum," ungkapnya.
Tiyas lalu menyebutkan dua kategori tambang ilegal. Pertama, jenis tambang liar yang beroperasi di lahan belum "berpenghuni" baik Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Kontrak Karya (KK). Contoh jenis ini ada di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Jenis kedua, tambang liar yang masuk ke lahan milik perusahaan resmi. Dalam hal ini, kasus di blok Bakan milik J Resources tergolong jenis kedua.
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Kompol Eko Susanda mengakui selama Pemerintah belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang pendapatannya setara dengan hasil dari aktivitas tambang ilegal, penindakan dari aparat dinilai tidak akan menyelesaikan masalah.
Bahkan aparat kepolisian kerap dihadang masyarakat saat hendak menutup area penambangan. Pasalnya, lahan tersebut sudah dianggap sebagai sumber mata pencaharian.
"Kenapa tambang illegal sulit diselesaikan oleh kepolisian? Kalau kita menangkap dia (penambang ilegal), ada ribuan orang yang perlu makan," tutur Kompol Eko.
Bahkan pembinaan bagi para pekerja di tambang ilegal, sambung Kompol Eko, pernah dilakukan dengan memberi sumbangan perahu gratis untuk beralih profesi menjadi nelayan. Tapi, lantaran pendapatan mencari ikan di laut tidak sebesar menambang, akhirnya mereka kembali lagi ke tambang.
"Menambang itu pagi kerja sore sudah tarik uang. Kalau dikasih kapal susah mencari uangnya," tuturnya.
Sementara, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan, untuk memberantas penambangan ilegal, selain penegakan hukum secara konsisten, rantai pasokan barang yang dibutuhkan dalam aktivitas tersebut juga harus diputus.
Aktivitas tambang ilegal bisa berjalan karena ada pemasok modal, pemasok bahan-bahan keperluan pertambangan termasuk bahan kimia berbahaya seperti sianida dan merkuri, serta penampung hasil tambang ilegal. "Jika rantai pasokan ini diputus, penambangan ilegal ini juga akan terhenti," tuturnya.
Rizal Kasli bahkan menyebutkan operasional tambang dengan bentuk IPR tidak ekonomis. Pasalnya, ketentuan operasi yang melarang penggunaan alat berat, membuat hasil produksi tidak akan menutup angka kewajiban lingkungan yang harus dibayarkan.
"Semua di lokasi tambang kecil-kecil masih pakai alat berat. Berdasarkan kajian kami, IPR kalau mengikuti semua ketentuannya, tidak ekonomis," pungkasnya.
Sudah saatnya Pemerintah dan pemangku kepentingan bertindak tegas menertibkan tambang ilegal. Kegiatan ini selain tidak aman juga merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian negara karena tidak ada royalty atau kewajiban pajak yang dibayarkan. Kita tidak ingin ada korban berikutnya karena lambannya penanganan PETI.
Editor: