Jakarta,PINews.com - Kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla terkait perpanjangankontrak karya Freeport oleh ketua DPR Setya Novanto memasuki babak baru. Dalam persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kemarin (2/12), diperdengarkan rekaman yang diduga dilakukan oleh Setya Novanto, pengusaha Muhamad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Ma’ruf Sjamsoeddin di sebuah hotel di Jakarta.
Namun demikian banyak pihak yang menilai proses perjalanan sidang terlihat jelas sarat dengan kepentingan politik. MKD seperti macan ompong.
Pengamat Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia Bivitri Susanti mengatakan dalam sidang tersebut tampak sekali upaya tarik menarik kepentingan politik.
“Mereka kelihatan tidak fokus, kelihatan sekali ada tarik menarik, ada sebagian anggota MKD yang tidak mau kasus ini terbuka semakin lebar, dan bisa dinamika itu pasti ada, tidak hanya Partai Golkar, tetapi juga aktor-aktor yang berafiliasi dengan Luhut, dan banyak faktor lain dan ingin menggagalkan dengan terkuaknya sidang ini,” jelas Bivitri.
Sementara itu, Pengamat Hukum Tata Negara Unpad I Gede Panca Astawa menilai anggota MKD lebih memposisikan sebagai penegak hukum dan memperlakukan pengadu sebagai terdakwa.
"Pengadilan etik bukan pengadilan pro justisia lho, jadi ini seharusnya nanti persoalannya apakah subtansi yang diajukan itu tentu diverifikasi dicocokan dengan peraturan kode etik yang dimiliki dengan DPR, ada tidak yang diadukan ini dalam hal ini pak Setya Novanto ini berdasarkan laporan pengaduan, berdasarkan saksi-saksi itu, di situ nanti akan datang satu penilaian, bahkan memutus terjadi pelanggaran kode etik atau tidak terjadi pelanggaran kode etik," jelas Panca Astawa.
Panca juga mengkritik jalannya sidang yang layaknya rapat kerja, karena banyak terjadi bajir interupsi. “Ini kok di antara anggota MKD ini berbeda interupsi, sepeti rapat kerja ada interupsi dan sebagainya berdebat satu sama lain, ini pengadilan atau dagelan. Sungguh tidak elok," pungkasnya.
Editor: RI