Saat Anak Jadi Energi Kehidupan di Dunia Perantauan
Credit by: Umar Aziz dan Istrinya (PIN)

Tanjung, PINews.com - Tak pernah lelah bertarung di perantauan. Setelah kalah di Jakarta dan Lombok, Umar  Aziz menemukan hidupnya di  Tanjung, Banjarmasin. “Karena anak-anak, saya tak boleh menyerah,” adalah kredo hidupnya

Karet adalah nadi ekonomi Masyarakat Tabalong. Jika harga sedang jatuh, daya beli langsung melorot. “ Sepi sekarang. Omzet hanya separuh dari biasanya,” ujar Umar Aziz , seorang  pedagang kaki lima di Taman 10-K, bisa disebut Taman Murung Pudak di Kota Tanjung,  Kabupaten Tabalong. Saya menemuinya di awal Oktober lalu. Karet memang sedang di titik terendah. Harganya  hanya Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kg. “Selama saya merantau di sini, kondisi sekarang paling buruk, “ ujar  Umar

Toh, ia tetap bersyukur dengan yang didapatnya sekarang. Saat memutuskan pergi ke Tanjung, Kabupten Tabalong, Banjarmasin,   sebelas   tahun silam, ia  tak punya apa-apa.  Saat itu  untuk ongkos pun , ia  terpaksa  menggadaikan  televisi. “Saya masih ingat saat dapat Rp 900  ribu,” ujar lelaki berpenampilan sederhana ini,   Lima ratus ribu dipakainya untuk tiket pesawat, sisanya dipakai modal  memulai berjualan.

Ia memutuskan  merantau ke Tanjung karena tergiur cerita  kota tersebut bakal ramai , menyusul dibukanya pertambangan batubara. Tentu bukan untuk melamar jadi karyawan di perusahaan tersebut. Dengan hanya berijazah SD, tak ubahnya seperti menggantang asap jika berharap jadi pegawai. “Saya mengikuti saudara saya yang lebih dulu merantau, jualan batagor,” uajrnya. 

Sejak itu ia masuk keluar  kampung mendorong gerobak. Toh, kenyataan tak semanis harapan. Penghasilannya  tak seberapa. Umar menyebutnya begitu-begitu aja. Jangankan bisa mengirim anak istrinya di  kampung, untuk makan sehari-hari saja sudah susah. Saat saudara yang diikutinya menyerah, memilih kembali ke kampung halaman. Umar memilih bertahan. “Yang terpikir waktu itu, bagaimana nasib anak-anak saya,” ujarnya.

Di benak Umar ,  kembali ke kampung,   hanya akan meneruskan kesusahan orang tuanya dulu.  Sumber mata pencaharian  yang tersedia hanya jadi buruh tani yang upahnya sangat jauh dari layak. “Anak-anak saya akan  bernasib seperti saya, sekolah alakadarnya,” ujar Umar. Tak pelak lagi, anak menjadi energi bagi Umar untuk terus bertarung di perantauan, menjadi pelita saat asa mau padam. Dia adalah pusat kehidupan.

Titik balik kehidupannya  mulai  saat Pertamina Field Tanjung membangunkan lapak untuk pedagang kaklima pada  2005 untuk berjualan makanan dan minuman. Umar termasuk , salah satu dari 20 pedagang yang ditawari untuk berjualan di tempat yang sekarang dikenal dengan Taman K-10, biasa juga disedut Taman Murung Pudak.

Meski awalnya sempat terangah-engah  menjaring pelanggan, kini tempat tersebut menjadi salah  satu pilihan untuk   “wisata kuliner”  bagi warga Tanjung.  Masyarakat pun  kini berebut berjualan di situ. Karena permintaan tinggi,  perusahaan menambah delapan kios lagi pada Januari 2014 lalu sehingga semuanya berjumlah 28 kios.   Selain itu juga dibangun  mushala atas permintaan para pedagang di situ.  Karena belum tersedia tempat ibadah, mereka terpaksa harus meninggalkan tempat jualan jika saat Shalat tiba.

Yang berjualan  tak dipungut apapun, termasuk penerangan yang sepenuhnya disediakan  perusahaan.  Urusan listrrik, Field Tanjung tak pelit. Mereka punya  power plant sendiri berkapasitas  3 x 4 MW dengan menggunakan bahan bakar gas dari sumur yang mereka produksi.  Dari tiga pembangkikt, hanya dua yang terpakai. Satu untuk cadanngan.

Para pedagang hanya diminta menjaga  membantu kebersihan.  “Kalau ada keluhan atau usulan, perusahaan langsung menanggapi ,” ujar Umar. Selain disediakan fasilitas gratis untuk berjualan, Umar pun tertolong dengan diperbolehkan menyewa rumah kepada koperasi karyawan Pertamina EP.

Saat  Field Tanjung jaya di era 70-an saat produksi sempat menyentuh 90-ribuan barrel oil per day (BOPD), ribuan orang tercatat sebagai karyawan. Berbagai fasilitas termasuk perumahan dibangun . Seiring dengan  produksi yang menyusut,  karyawan  hanya tersisa ratusan.  Banyak rumah yang akhirnya menganggur, kemudian diserahkan kepada koperasi karyawan untuk dikelola. Rumah itu akhirnya disewakan, terutama kepada para pendatang dengan harga sewa tak terlalu mahal. Umar, misalnya  hanya membayar sewa  Rp 165.000 per bulan

Dari Taman K-9  itulah rezeki Umar  mulai mengalir. Sehari, dia bisa mengantongi Rp Rp 200.000  sampai Rp 500.000.  “Saya tak bisa membayangkan kalau tempat  ini ditutup perusahaan,” ujarnya.  Tempat itu kini jadi  satu-satunya sumber penghasilan. Beberapa tahun lalu, untuk menambah pendapatan, Umar  masih menjajakan  batagor , berkeliling dengan motor. Sementara istrinya menunggui warung di Taman K-9.  Sampai akhirnya, ia  mengalami kecelakaan lalu lintas.

Saat mengendarai motor, tiba-tiba seorang kakek melintas.   Meski  tak tertabrak langsung, tubuhnya sempat  membentur bagian belakang motor.  Dia terjengkang,  membentur aspal. Nyawanya tak tertolong. Umar pun ditahan polisi,

Saat sidang di Pengadilan, Umar membawa empat anaknya. Dia menghiba kepada hakim, meminta keringanan untuk masa depan anaknya. Dia akhirnya hanya divonis dalam hitungan bulan sesuai masa tahanan yang sudah dilakoninya. “ Sejak itu saya  dan istri konsentrasi hanya jualan di taman K-9, Alhamdulillah rezeki lancar, “ ujar Umar.

Tempat berjualannya , meski alakadarnya tak sekedar mempertemukan pembeli dan penjual  Di sana jadi tempat berkumpulnya  sesama etnis Sunda di perantauan, dari lintas profesi, mulai dari buruh bangunan sampai hakim.  Pergaulan itu bagi Umar,  adalah kemewahan yang tak bisa didapatnya di  kampung halaman.  “ Meski hanya lulusan SD,  saya bisa bergaul dengan hakim dan jaksa,” ujar Umar

Hampir seluruh hidup Umar Aziz  dihabiskan di perantauan. Dia sudah meninggalkan tanah kelahirannya di Malangbong, Garut  begitu tamat Sekolah Dasar. Saat itu usianya baru 13 tahun. Boleh jadi, Umar adalah  kekeculian dari etnis Sunda yang dalam berbagai kajian budaya kerap disebut sebagai etnis yang  tak begitu  suka merantau seperti tergambar dalam peribahasa, “bengkung ngariung, bongkok ngaronyok, “ 

Dalam usia muda, tanpa disuruh siapapun, dia  pergi ke Jakarta. Dia merasa tanah kelahirannya sudah tak bisa memberi apa-apa. Dia tak bisa menuntut orangtuanya untuk menyekolahkan ke tingkat yang lebih tinggi. “Untuk makan saja susah,” katanya. Saat pertama kali merantau, keinginannya tak mulukk-muluk. Hanya ingin bisa makan  tanpa merepotkan orang tuanya. “Saya jualan cendol,” ujarnya. Berbilang tahun, rezeki tak mau menghampiri. Toh meski  tak punya apa-apa, saat usianya 19 tahun, ia nekad menikahi gadis tetangganya di kampung yang berumur 13 tahun. 

Setelah berumah tangga, rezeki tak kunjung membaik. “Untung istri saya sabar. Kalau nggak sudah pisah dari dulu,” ujarnya.  Umar  pun akhirnya menyerah pada Jakarta. Ia tak bisa lagi menggantungkan harapan di ibukota .  “Saya akhirnya putuskan merantau ke Lombok,” ujarnnya.

Seperti saat merantau ke  Jakarta, ia juga tinggalkan  keluarganya di kampung halaman. Dua tahun disana, hasilnya malah lebih buruk dibandingkan Jakarta.  Satu-satunya yang bisa dibawanya ke kampung halaman adalah Aziz, yang ditambahkan didepan namanya oleh kawan-kawan seperantauan di Lombok. Oleh orang tuanya, ia hanya diberi nama Umar tanpa kepanjangan apa-apa.  “Mereka mengangap kalau  nama hanya satu kata, gak biasa,” ujarnya. Jadilah, dia bernama Umar Aziz yang terus dipertahankan sampai sekarang.

Setelah Jakarta dan Lombok, pengembaraannya berlanjut ke Tanjung.  Perantauan sepertinya akan berakhir di sini. Dia sudah membawa istri dan  keempat anaknya. Anaknya yang paling kecil  yang bersekolah di SD malah sudah seperti orang Banjar. Sehari-hari bertutur kata dengan bahasa  Banjar. Bahasa Sunda sama sekali  tak dikuasainya. “ Maklum , saat saya bawa  umurnya lima tahun,”  ujar Umar. Seperti juga di Lombok yang mendapat tambahan nama, di Tanjung pun Umar mendapatkan panggilan baru : Ujang. Sebutan untuk laki-laki Sunda yang umumnya ditujukan untuk anak-anak itu melekat sampai sekarang.  

Untuk kesekian kali setiap kali ditanya, apa yang menyebabkannya bertahan di perantauan,  Umar menjawab tegas. “ Karena anak-anak. Saya tak boleh menyerah,”  Tak sekedar  untuk  para perantau, kalimat ini bisa menjadi kredo  siapa saja,  termasuk pejabat yang mulai dirongrong suap. 

Editor: RI