Juara MTQ Internasional Asal Palembang Ternyata Hidup Dalam Keperihatinan
Credit by: Miftahul Jannah bersama para juara lain di MTQ Internasional 2014 di Palembang (Antara)

Jakarta, PINews.com - Prestasi yang diraih oleh atlet atau dalam hal ini qoriah Indonesia biasanya dijanjikan dengan bonus dan jaminan kesejahteraan oleh pemerintah. Tidak terkecuali sang pahlawan di ajang MTQ International 2014 yang baru saja digelar di Palembang.

Miftahul Jannah, ibu beranak dua sukses keluar menjadi juara untuk kategori wanita. Kemerduan suaranya yang mengahrumkan nama bangsa dijanjikan oleh pemerintah dengan jaminan kesejahteraan yang memang dibutuhkan oleh Miftahul yang saat ini bekerja sebagai tenaga pengajar swasta.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga sempat menjanjikan akan adanya perhatian kepada seluruh pihak yang berprestasi mengahrumkan nama daerah dan negara di ajang internasional. Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang juga Ketua Panitia MTQ Internasional, Achmad Najib, mengatakan pihaknya sangat menghargai setiap prestasi yang diraih warganya. Tidak hanya memperhatikan olahragawan berprestasi, Achmad Najib bakal memberikan perhatian yang maksimal terhadap qori dan qoriah terbaik asal daerah tersebut. “Kami pasti memperhatikan prestasi siapa pun di Sumsel ini,” ia berjanji. 

Namun sayang janji manis tersebut masih belum juga terealisasi, padahal Miftahul sendiri sudah berkali-kali mengharumkan nama Indonesia di ajang Internasional. Qoriah bersuara emas kelahiran 18 Agustus 1983 ini sudah puluhan kali berprestasi diberbagai ajang, yang terbaru sebelum menjuarai MTQ Internasional 2014 di Palembang, ia sukses berada di posisi ketiga diajang serupa tahun lalu di Malaysia.

Ditulis di Tempo, Kehidupan Miftahul sangat berbanding terbalik dengan prestasi dan berbagai penghargaan yang telah diterimanya. Miftahul terpaksa hidup dengan penuh kesederhanaan karena minimnya perhatian pemerintah untuk memperbaiki nasibnya sebagai pahlawan bangsa. Maklum, gajinya sebagai guru swasta di Pondok Pesantren Qodratullah, Langkan, Banyuasin, hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Hebatnya lagi, Miftahul sendiri tidak pernah menagih janji pemerintah, ia mengaku prestasi yang diraihnya merupakan mukjizat Allah SWT yang diberikan kepadanya, bukan untuk mencari suatu kesenangan dunia semata.  “Sebelum tampil di Malaysia saya pernah dijanjikan PNS, tetapi sampai sekarang belum ada kabar,” kata Miftahul Jannah.

Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian. Para pahwalan bangsa seperti Miftahul mungkin memang tidak pernah menagih janji yang selalu dijanjikan kepada mereka. Mereka ikhlas beribadah sekaligus mengharumkan nama bangsa. Akan tetapi sudah sepatutnya negara tidak serta merta acuh dan mengabaikan perjuangan yang mereka lakukan. Penghargaan tidak hanya selalu didapatkan saat mereka sedang jayanya, tetapi perhatian yang berkelanjutan, minimal sebagai ungkapan terima kasih negara terhadap perjuangan mereka.

Editor: Rio