Teknologi MASS: Ancaman bagi Dunia Maritim Indonesia

JAKARTA-PINews.com- Dalam kurun sepuluh tahun ke depan teknologi yang dipakai angkutan laut di seluruh dunia akan berkembang pesat. Salah satu teknologi yang sedang ramai dibahas adalah teknologi kapal laut tanpa awak, atau dikenal dengan sebutan Marine Autonomous Surface Ships (MASS). Beberapa negara sedang getol melakukan ujicoba teknologi MASS. Bagaimana teknologi MASS nantinya akan diterapkan? Apakah MASS cocok untuk di Indonesia? Bagaimana sistem keamanannya?

Teknologi industri maritim terus berkembang dan tidak dapat dihindari begitu pula untuk Indonesia. Namun sebelum diterapkan sepenuhnya, tentunya diperlukan kajian yang mendalam. Apalagi Indonesia sebagai negara Maritim dengan garis pantai terpanjang di dunia. Oleh karena itu Indonesia tidak boleh berdiam diri, terutama bila teknologi yang dikembangkan dan hendak diterapkan masih berkaitan erat dengan keselamatan dan kemanan pelayaran, demikian menurut Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT., M.Mar, salah satu Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) kepada media, Minggu (26/9/2021).

Terkait dengan MASS, Capt. Hakeng menyebut teknologi kapal tanpa awak tersebut perlu dipikirkan secara matang penerapannya di Indonesia.  Karena masih membutuhkan kajian lebih lanjut terutama berhubungan dengan regulasi atau Undang Undang No. 17/2008 tentang Pelayaran. Apakah kehadiran MASS tersebut telah sesuai dengan UU pelayaran tersebut?

MASS merupakan kapal yang dikendalikan dan dioperasikan dari lokasi lain, baik ada awak ataupun tanpa awak. Sistem operasi kapal mampu membuat keputusan dan tindakan secara otonom tanpa campur tangan manusia.

"Karena dijalankan secara otomatis dari jarak jauh, siapakah yang memiliki teknologi ini? Pusat kontrolnya ada dimana? Ini juga harus kita pertanyakan. Jangan sampai justru kita dijajah oleh teknologi itu, karena belum mampu mengoperasikan. Jangan sampai pula teknologi itu diretas kemudian  dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kejahatan. Akibatnya bisa mengganggu kedaulatan negara," ujar Capt. Hakeng.

MASS yang dikendalikan dari jarak jauh melalui operator di daratan secara tidak langsung akan menggusur keberadaan dari nahkoda dan anak buah kapal. 

Capt. Hakeng mengutip data dari Kementerian Perhubungan per tanggal 8 Februari 2021, ada hampir 1,2 juta pelaut Indonesia baik yang bekerja di kapal Niaga maupun kapal Perikanan. Dari jumlah tersebut, ILO (International Labour Organization) mencatat bahwa Indonesia adalah penyuplai pekerja perikanan No. 1 di Dunia.

Selain itu penerimaan negara dari pelaut juga tidak bisa dikatakan sedikit. Tercatat potensi penerimaan negara dari pelaut Indonesia di luar negeri mencapai sekitar Rp 151,2 triliun setahun. Perkiraan perhitungan itu didapat dari rata-rata gaji pelaut Indonesia di luar negeri sebesar USD 750 atau setara Rp 10,5 juta per bulan. Jumlah itu dikalikan jumlah pelaut sebanyak 1,2 juta orang per Februari 2021 dan dikalikan 12 bulan.

Kehadiran MASS bisa mengakibatkan munculnya masalah terhadap pengurangan tenaga kerja di sektor kemaritiman. Capt. Hakeng mengingatkan, Indonesia akan dihadapkan pada persoalan masa depan, yaitu bonus demografi pada 2030. Artinya, jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar. Indonesia perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatan lapangan kerja.

"Dengan bonus demografi yang segera dinikmati Bangsa Indonesia. Maka semua pihak harus segera menyadari untuk bisa mengedepankan pengembangan Industri padat karya yang berintegrasi dengan teknologi, dan bukan malah mengedepankan pengembangan teknologi yang meminimalisir jumlah pekerja. Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi bagi Bangsa Indonesia," pungkas Capt. Hakeng. (*)

Editor: