Menjaga Keandalan Blok Rokan melalui Kegiatan Masif dan Agresif

JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) menegaskan banyak strategi yang diterapkan tim transisi untuk menjaga keandalan produksi Blok Rokan. Apalagi transisi Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sudah dilakukan sejak 2019. Pengelolaan Blok Rokan akan mulai diambil alih PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Hulu Rokan pada 9 Agustus 2021.

Fatar Yani Abdurahman, Wakil Kepala SKK Migas, mengatakan tiga tahun terakhir Pertamina Hulu bekerja keras dan bekerja sama dengan SKK Migas agar proses alih kelola berjalan mulus.

“Semua item sudah diidentifikasi. Jadi sekarang intinya, harus masif, agresif, efisien, resilient, tough, dan out of the box, di luar batas normal,” kata Fatar Yani saat Focus Gruop Discussion bertajuk “Mengawal Keandalan Operasi Wilayah Kerja Rokan”, Kamis (22/7).

Menurut Fatar, Blok Rokan hingga saat ini sudah sudah memproduksi hampir 12 miliar barel, namun terus menurun secara alamiah atau natural decline. Hal ini wajar karena lapangan di Blok Rokan besar. “Di sana paling banyak sumurnya dibanding tempat lain. Jadi memang operasi Rokan ini harus masif,” kata dia. 

Untuk itu, ada beberapa program kerja yang dibuat selama masa transisi, mulai dari drilling work over hingga chemical EOR. Untuk jangka panjang, chemical EOR menjadi harapan. Dan harapannya yang unconventional bisa terangkat.

“Sisa-sisa black gold yang ada disana benar-benar harus kita jaga, tidak hanya untuk kepentingan negara tapi juga nasional,” kata dia.

Fatar Yani mengatakan proses transisi Blok Rokan cukup panjang. Namun, transisi yang panjang ini menjadi kesempatan untuk dilakukan secara smooth dan flawless atau tidak ada cacat, seemless tidak kelihatan.

Jaffee A Suardin, Direktur Utama PHR, mengatakan Blok Rokan berbeda dengan blok lainnya, karena menyumbang 24% produksi minyak nasional. Serta ada 104 lapangan yang tersebar dari utara sampai ke selatan.

“Ini yang harus kita manage agar produksi bisa dipertahankan. Ada sembilan bidang prioritas alih kelola. Kami akan teruskan apa yang belum diselesaikan, mulai tanggal 9 Agustus yang tujuannya agar pada 2021 jumlah sumur tidak kurang sesuai rencana,” ungkap Jaffee.

Mantan Deputi Perencanaan SKK Migas itu juga mengatakan, PHR akan mengebor dan menyiapkan resources untuk 161 sumur dengan asumsi 77 sumur yang belum sempat diselesaikan oleh eksisting operator. Saat ini, persiapan terus dilakukan. Pertamina sudah menyiapkan sekitar 16-17  rig dan material.  Bahkan, rig dan material tersebut bisa digunakan sebelum tanggal 9 Agustus untuk bisa membantu sumur yang sedang dikerjakan eksisting operator. “Tujuannya agar proses alih kelola ini bisa jalan lancar tanpa gangguan,” tukasnya.

Menurut Jaffee, Pertamina berkomitmen untuk menggali semua potensi yang ada secara masif, agresif, dan efisien. Serta menyiapkan tidak hanya sumur yang dibor pada 2021, namun juga pada 2022.

“Bukan mengejar jumlah sumur, maunya jumlah sumur paling sedikit tapi produksi paling besar. Di blok ini memang dibutuhkan sumur yang banyak,” ungkapnya.

Jaffee mengatakan, untuk chemical EOR, PHR terus men-develop dan melakukan perbaikan. Disisi lain, PHR juga terus melakukan diskusi busineess to busineess dengan penyedia teknikal chemical EOR.

Hadi Ismoyo, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Minyak Indonesia (IATMI), menyoroti pemberian hak partisipasi (Participating Interest/PI) 10% ke daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), termasuk di Blok Rokan nantinya.

“Tantangannya, di antaranya diperlukan profesional migas untuk melaksanakan tata kelola PI 10%. BUMD pengelola harus slim dan agile, serta cepat dalam membuat dan mengolah keputusan strategis,” kata Hadi. 

Menurut dia, tantangan yang ada saat ini adalah adanya fakta di lapangan banyak PI 10% dengan berbagai sebab belum diselesaikan atau belum diberikan ke BUMD sesuai amanat Permen 37, baik sebab teknis dan non-teknis.

Selain itu, sosialisasi belum menyentuh akar semangat PI 10% yang menyangkut ada hak dan kewajiban masing masing pihak. Ada pula leak off komunikasi antara operator dan BUMD karena level pemahaman yang berbeda. Keempat, terlahir saling curiga dan sak wasangka yang pada kasus kritis sampai mengganggu operasional migas di suatu wilayah kerja. Kelima, dana talangan tanpa bunga yang dirasa operator sangat memberatkan karena finance scheme project selalu ada cost of money.

“Untuk itu, tata kelola PI 10% dengan skema  dana talangan tanpa bunga dihapus diganti dengan dana talangan dengan cost of money yang besarannya diambil dan maksimal rata rata cost of money pada tahun berjalan yang adil dan tidak memberatkan salah satu pihak dengan semangat win-win solution,” kata Hadi.(ika)

Editor: ika