PII Nilai Ketergantungan Tunggal pada PLN Penyebab Sistem Kelistrikan Indonesia Tidak Efektif
Credit by: PLN Jawa Bali

Jakarta, PINews.com -  Terputusnya aliran listrik di sebagian pulau Jawa dan Bali pada 5 September lalu karena gangguan pembangkit listrik Paiton di Probolinggo, Jawa Timur, sekali lagi menunjukkan belum stabilnya sistem ketenagalistrikan di Tanah Air. Kejadian yang terjadi beberapa kali pada akhir-akhir ini, menimbulkan pertanyaan publik akan kemampuan PLN memenuhi kebutuhan listrik negeri. Perusahaan pelat merah tersebut seolah kewalahan dengan seluruh tanggung jawab yang diemban, yakni melakukan kerja dari hulu hingga hilir.

Mulai dari membangun infrastruktur kelistrikan, mengoperasikan 70% pembangkit listrik dan nyaris 100% jaringan transmisi dan distribusi , menyalurkan kepada pelanggan di seluruh Indonesia. Bahkan, hingga seleksi dan negosiasi tarif listrik dengan produsen listrik swasta atau IPP (Independent Power Producer); semuanya dilakukan PLN sendiri. Saat ini pelanggan PLN telah mencapai 65 juta rumah tangga dan dipastikan akan terus bertambah ke depannya. Bisa dibayangkan betapa beratnya tantangan PLN untuk tidak hanya terus menyediakan listrik namun juga menjaga kualitas pelayanan.

Menurut Wakil Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Heru Dewanto, struktur pasar ketenagalistrikan saat ini sangat bergantung pada PLN. “Karenanya syarat utama keandalan struktur ini adalah PLN harus sehat baik secara keuangan maupun keandalan pengoperasian. Sedikit saja kesehatan PLN terganggu maka keseluruhan sistem ketenagalistrikan di tanah air akan terganggu,” ujar Heru.

Heru juga merujuk pada berbagai kemajuan teknologi di pembangkitan, transmisi dan distribusi, optimalisasi operasi, inovasi EBT (Energi Baru dan Terbarukan), serta digitalisasi yang diperkenalkan selama pelaksanaan Hari Listrik Nasional ke 73 - PowerGen Asia di ICE BSD yang berakhir Kamis 20 Sepetember. Teknologi baru seperti smart grid, big data dan AI (Artificial Intelligence), distributed energy resources, blockchain, cyber security, dan beragam teknologi baterai telah mewarnai industri ketenagalistrikan.

Dunia sedang menyambut era prosumer (producer dan consumer) dan enernet (energy on internet) dan kebangkitan EBT. Heru mengatakan kemajuan teknologi yang sangat pesat mendorong semua pihak untuk mulai memikirkan peran PLN dan struktur pasar ketenagalistrikan di masa depan. “Kebijakan dan regulasi perlu disiapkan untuk mengantisipasi perubahan besar yang dihasilkan dari revolusi teknologi yang akan berujung pada perubahan bisnis model,” ungkapnya.

Di sisi lain, data dari PLN menunjukkan bahwa saat ini masih ada 3.660 desa di kawasan Tertinggal, Terluar, dan Terdepan (3T) yang belum teraliri listrik. Sementara menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, masih ada 400 ribuan rumah di daerah 3T yang sama sekali belum teraliri listrik. Melihat situasi ini, Heru mengusulkan pengembangan energi terbarukan secara serius untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Sinar matahari, panas bumi, air, dan bio massa adalah energi terbarukan yang melimpah di negara ini namun belum dimanfaatkan dengan maksimal.

Energi terbarukan ini menjadi terjangkau harganya. Pemanfaatkan panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik pribadi sekaligus produsen listrik mendorong lahirnya era prosumer. “Kita tidak bisa sepenuhnya bergantung pada satu lembaga saja untuk mencapai target EBT 23% pada tahun 2025. Diperlukan kolaborasi banyak pihak dengan memanfaatkan kemajuan teknologi,” jelas Heru.

Di masa depan, dengan semakin murahnya baterai, akan semakin banyak mobil listrik. Dengan semakin murahnya panel surya, masyarakat bisa memilih menjual listrik yang diproduksi melalui jaringan listrik atau dikonsumsi sendiri. Semua energi yang tersedia di konsumen bisa diiklankan lewat internet dan antar konsumen bisa langsung melakukan jual beli. Inilah yang disebut enernet, energy on internet.

Sementara itu, Guru Besar Teknik Elektro ITB, Pekik Argo Dahono mengatakan kompleksitas peranan  PLN telah menyebabkan inefisiensi kelistrikan di Indonesia. “Listrik memang hajat hidup orang banyak. Tapi yang diperlukan apakah listrik dan segala sumber dayanya cukup dikendalikan oleh negara, atau perlu sampai dimiliki sepenuhnya oleh negara? Manurut saya negara cukup sebagai pengendali. Tanpa kompetisi, bagaimana kita bisa menjamin PLN melakukan efisiensi?,” ungkap Pekik.

Pekik mengusulkan bahwa regulator aturan kelistrikan dan lembaga pengawas tetap dipegang oleh negara, sementara struktur kelembagaan PLN diberikan dua opsi. PLN bisa menjadi entitas yang menguasai transmisi dan distribusi, sementara produksi diserahkan kepada swasta. Bukan seperti sekarang yang menjadikan PLN terlalu dominan. Alternatif lainnya adalah skema oligopoli, sehingga akan ada PLN I, PLN II dan seterusnya,  sama halnya seperti Pelindo ataupun PT Perkebunan Nusantara.

“Kalau kita lihat industri lain yakni telekomunikasi, persaingan lebih fair antara BUMN dengan swasta. Ini karena adanya BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) yang menaungi dan menjadi wasit persaingan antara perusahaan telekomunikasi milik negara dengan swasta. Sudah seharusnya sistem ini diberlakukan ke industri listrik,” terang Pekik.

Pekik beranggapan bahwa efisiensi industri listrik sebaiknya tidak dikaitkan dengan harga listrik yang murah. Harga listrik murah justru cenderung mendorong pemborosan. Tingginya konsumsi listrik sebagai indikator kemajuan suatu bangsa harus ditempatkan pada konteks konsumsi listrik untuk bidang produktif. Seperti pemanfaatan listrik untuk sistem transportasi publik, bukan pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Bila pemerintah bisa membangun tol laut dan Palapa Ring, lanjut Pekik, kenapa tidak dibuat tol listrik atau supergrid untuk elektrifikasi yang lebih luas dan efisien? Tol listrik akan menghubungkan pulau-pulau besar sehingga antar daerah bisa berbagi sumber daya pembangkit listrik. Potensi PLTA di Papua dan Kalimantan bisa dimanfaatkan untuk kedua pulau itu atau dibagikan ke daerah lain. Begitu juga dengan energi panas bumi di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara yang melimpah.

Sementara jaringan listrik kecil (microgrid) dimanfaatkan untuk pulau-pulau kecil. Biaya pembangunan bisa dipungut dari dari harga beli listrik di sisi konsumen, atau harga jual listrik di sisi pembangkit. Hal ini untuk menghindari tergerusnya APBN atau terlalu bergantungnya pada investor.

 

Fungsi Regulator

Sementara menurut pengamat energi Faby Tumiwa, sejatinya regulator yang sebenarnya sudah ada, yakni Kementrian ESDM. Sehingga, menurut Faby, negara tidak perlu membentuk lembaga regulator baru lagi. “Masalahnya, Kementrian ESDM tidak menjalankan fungsi regulatornya dengan benar, baik dari sisi perencanaan, pengawasan, hingga evaluasi. Nah ini yang menciptakan bias bagi PLN. Mereka diberi tugas penyedia listrik, sehingga yang mereka lakukan yang kelihatannya seperti meregulasi. Ini sebenarnya adalah bagian dari usaha memenuhi tugas menyediakan listrik,” terang Faby.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) ini menjelaskan, aturan yang dikeluarkan PLN untuk perencanaan, pengadaan listrik, hingga evaluasi yang ditujukan bagi IPP seharusnya dikeluarkan oleh selevel menteri melalui Peraturan Menteri (PerMen), bukan Keputusan Direktur. Keputusan direktur sifatnya adalah untuk internal PLN, bukan untuk mengatur industri kelistrikan tanah air.

“Saya melihat masalah sebenarnya ada di Kementrian ESDM. Hal ini karena Kemen-ESDM tidak pernah punya mandat dan tupoksi yang jelas di bidang kelistrikan. Belum lagi kapasitas SDM di institusinya yang tidak menguasai seluk-beluk industri kelistrikan di Indonesia,” ungkap Faby.

Editor: HAR