Suriah Dikepung Pertempuran Sengit
Credit by: sputnik

Damaskus, PINews.com  - Pertempuran sengit berkecamuk pada Selasa (11/4) waktu setempat antara prajurit militer Suriah dan gerilyawan di Provinsi Daraa di bagian selatan negeri itu, di tengah keterangan bahwa gerilyawan mendapat bantuan besar melalui perbatasan Jordania.

Observatorium Suriah bagi Hak Asasi Manusia menyatakan Angkatan Udara Suriah melancarkan 40 serangan udara pada Selasa terhadap gerilyawan, yang berusaha menyerbu dan merebut Daerah Manshiyeh. Jika gerilyawan berhasil merebut daerah tersebut, itu mengancam kejatuhan Kota Daraa ke tangan gerilyawan.

Kelompok pengawas yang berpusat di London, Inggris, tersebut mengatakan 16 perwira dan prajurit Suriah tewas sehari sebelumnya, selama pertempuran di Daraa, demikian laporan Xinhua, Rabu pagi.

Observatorium tersebut menambahkan di antara kelompok gerilyawan ada Front bagi Pembebasan Levant --yang sebelumnya dikenal dengan nama Front An-Nusra, yang memiliki hubungan dengan Al-Qaida.

Sementara itu, satu sumber militer mengatakan kepada Xinhua bahwa pertempuran berkecamuk di Daraa setelah gerilyawan menerima dukungan besar logistik melalui perbatasan Jordania, termasuk senjata berat dan kendaraan.

Ratusan petempur gerilyawan, serta tank dan kendaraan sampai kepada gerilyawan di Daraa, kata sumber tersebut --yang tak ingin disebutkan jatidirinya.

Gerilyawan belum lama ini meningkatkan serangan mereka di Daraa untuk merebut Permukiman Manshiyeh, yang meliputi tiga bukit yang menjorok ke sebagian besar permukiman di Daraa.

Ada kekhawatiran bahwa jika Manshiyeh jatuh ke tangan gerilyawan, seluruh kota Daraa akan jatuh juga.

Abdul-Aziz Farez, seorang ahli politik, mengatakan Jordania mendukung gerilyawan di Daraa karena dua alasan utama: yang pertama ialah air, sebab Daraa berisi dua sumber air. Ia menambahkan, ialah ukuran geografis dan lokasinya di dekat perbatasan Jordania, yang akan memungkinkan Jordania, dengan bantuan gerilyawan, membuat Daraa jadi zona penyangga.

Sementara itu, Presiden Belarusia Alexander Lukshenko mengutuk serangan rudal AS ke Suriah, kata layanan pers kepresidenan pada Selasa (11/4). "Ketika saya mendengar mengenai itu, saya sangat menyesalkan. Untuk menangani masalah dalam negeri melalui kebijakan luar negeri yang agresif bukan cara yang benar," kata Lukashenko, sebagaimana dikutip dari Xinhua, Rabu pagi.

"Amerika sendirian atau bahkan bersama sekutu NATO terdekatnya tak bisa mengambil-alih atau memerintah seluruh dunia. Orang mesti mengawasi nafsunya dan menangani tempat kepentingannya sangat kuat. Dan mereka berdusta terutama di Amerika Utara," katanya.

Amerika Serikat pada Jumat (7/4) menembakkan peluru kendali dari dua kapal perusaknya di Laut Tengah ke satu pangkalan udara, yang dikatakan Presiden AS Donald Trump sebagai tempat serangan senjata kimia maut dilancarkan pada Selasa.

Washington mengatakan pemerintah Suriah adalah pihak yang melakukan serangan gas beracun tersebut di kota Khan Sheikhoun di provinsi Idlib yang dikuasai para pemberontak. Serangan menewaskan sedikitnya 70 orang, yang sebagian besar di antaranya adalah warga sipil, termasuk anak-anak.

Komando Angkatan Darat Suriah telah membantah bertanggung jawab atas serangan.

Pemimpin Spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei pada Minggu (9/4) mengatakan serangan rudal AS terhadap satu pangkalan udara Suriah adalah kesalahan strategis. "Tindakan Amerika ada kesalahan strategis, sebab mereka mengulangi kesalahan para pendahulu mereka," kata jejaring Ali Khamenei, yang mengutip pernyataannya.

Menteri Luar Negeri Suriah Walid Al-Moallem pada Kamis mengatakan serangan udara Suriah belum lama ini ke kota kecil yang dikuasai gerilyawan di Provinsi Idlib di bagian barat-laut Suriah mengenai gudang gerilyawan yang berisi bahan kimia. Tapi Al-Moallem membantah Angkatan Udara Suriah menggunakan gas beracun selama serangan itu.

Adapun Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan  Moskow akan meminta Perserikatan Bangsa-bangsa untuk melakukan penyelidikan terhadap penggunaan senjata kimia di Suriah karena Rusia memperkirakan provokasi baru timbul terkait unsur beracun di Suriah. 

"Kami (Rusia) akan secara resmi meminta struktur PBB di Den Haag serta masyarakat internasional untuk secara seksama menyelidiki insiden ini dan untuk mengambil keputusan yang berimbang berdasarkan hasil investigasi," kata Putin dalam acara jumpa pers bersama dengan Presiden Italia Sergio Mattarella. 

Berdasarkan laporan, serangan gas beracun pada 4 April di provinsi Suriah yang dikuasai pemberontak di barat laut, Idlib, menewaskan sedikitnya 70 warga sipil dan melukai sejumlah lainnya.  Beberapa negara kuat Barat, termasuk Amerika Serikat, menyalahkan pemerintahan Bashar al-Assad atas serangan tersebut. 

Pemerintah Suriah membantah memiliki senjata kimia sementara Kementerian Pertahanan Rusia menuding kelompok pemberontak Suriah memproduksi bahan-bahan beracun di sebuah gudang, yang meledak ketika pesawat-pesawat tempur Suriah melancarkan serangan dan ledakan itu menyebabkan pencemaran. 

Amerika Serikat Kamis lalu meluncurkan 59 peluru kendali ke arah sebuah pangkalan udara Suriah, yang dicurigai menjadi tempat asal pesawat-pesawat pembawa senjata kimia diterbangkan. Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Selasa bahwa sembilan warga sipil, termasuk empat anak, tewas dan 10 lainnya mengalami luka dalam serangan itu. 

Putin mengatakan Moskow mendapat kabar dari sumber-sumber berbeda bahwa "provokasi" seperti itu sedang dipersiapkan di wilayah-wilayah lainnya di Suriah, termasuk di daerah pinggiran selatan itu kota negara Suriah, Damaskus. Daerah tersebut dicurigai akan diserang dengan "sejumlah benda" dan pihak berwenang Suriah akan dituding sebagai pelakunya. 

Putin mengatakan perkembangan tersebut mengingatkan dirinya akan peristiwa tahun 2003. Saat itu, perwakilan Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB menunjukkan unsur beracun yang diduga ditemukan di Irak untuk membenarkan invasi ke negara itu. 



Editor: HAR