Pengusaha Minta Dukungan Perbankan Nasional Kembangkan Industri Migas

Jakarta,PINews.com - Tantangan bagi industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia saat ini sangat  besar. Selain pengaruh penurunan harga minyak mentah dunia yang memengaruhi kinerja finansial perusahaan,  industri migas juga terkendala oleh tingginya bunga kredit yang dibebankan perbankan nasional bagi sektor hulu migas saat ini. Kesulitan perusahaan-perusahaan mencari pinjaman berbiaya murah, semakin melengkapi penderitaan harga minyak yang tak kunjung membaik.

Hal ini mengemuka pada seminar “Sinergi Perbankan dengan Industri Migas” yang digelar Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia (IAFMI) di Jakarta, baru-baru ini. Para peserta seminar yang berasal dari kontraktor kontrak kerjasama (KKKS), menyebut fasilitas pendanaan dari bank nasional saat ini kurang kompetitif dibandingkan bank asing. Hal tersebut terlihat dari fasilitas pinjaman tunai (cash loan) yang disediakan bank nasional, selalu diberikan dengan suku bunga yang lebih tinggi antara 2-3 persen dibandingkan bank asing.

Tidak hanya itu, bank nasional juga mewajibkan klausul collateral guarantee yang tinggi sebesar 25-30 persen jika KKKS ingin memperoleh pinjaman duit dari mereka.
Raymond Naldi Rasfuldi, Direktur Business Development Tripatra, mengatakan jika terus-terusan sulit mencari pinjaman seperti ini, tidak heran jika kegiatan eksplorasi dan produksi migas Indonesia tersendat. Dia mengusulkan perlunya dibuat terobosan sistem perbankan nasional dalam bentuk skema sinergi komersial untuk menjawab tantangan ini.

“Sejak 2008 , regulator sektor hulu migas telah mewajibkan semua transaksi perusahaan migas dilakukan melalui bank berstatus badan usaha milik negara (BUMN). Bank-bank nasional telah memperoleh keuntungan tambahan karena mengelola dana Abandonment and Site Restoration (ASR) yang wajib disetorkan perusahaan migas,” katanya.

Raymond berharap pemerintah bisa mendorong bank-bank nasional untuk membantu kesulitan yang dihadapi industri migas saat ini. “Bank-bank di Indonesia seharusnya bisa memberi short term bridging financing dengan bunga yang kompetitif bagi industri ini,” kata Raymond.

Menurut dia, pemerintah juga seharusnya bisa membantu dengan mempercepat restitusi pajak perusahaan migas dan menetapkan Pajak Penghasilan (PPh) yang lebih fleksibel untuk membantu memperkuat arus kas kontraktor nasional.

“Pada akhirnya diharapkan kontraktor-kontraktor lokal dapat lebih fokus kepada lini bisnis intinya dan bukan pada biaya-biaya terkait pendanaan proyek,” tegasnya.

Montty Girianna, Deputi Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Menko Perekonomian, menawarkan solusi bantuan bagi industri hulu migas dalam bentuk kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) untuk proyek-proyek migas strategis. Skema KPBU menurut Montty sudah digunakan dalam proyek-proyek infrastruktur seperti pembangkit listrik, jalan tol, dan pelabuhan.

“Skema ini mengalokasikan risiko antara badan usaha (commercial risk) dan pemerintah (regulatory risk) dengan lebih tepat, sehingga komersialisasi proyek dapat dicapai,” jelas dia.

Adhi Pratama, Group Head Oil-Gas Energy Corporate Banking PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), mengungkapkan BRI siap membantu lebih banyak KKKS di Indonesia. BRI menurut Adhi telah ditunjuk pemerintah untuk memberi pinjaman dalam bentuk tunai dan non tunai kepada KKKS, kontraktor, dan penyedia barang dan jasa sektor hulu migas.

“Bentuknya bisa pre-financing, post-financing, dan customized financing. BRI sendiri memiliki modal untuk melakukan itu karena ASR yang terkumpul sampai saat ini di BRI adalah sebesar Rp3,5 trilliun,” katanya. 

Editor: RI