Akuisisi PGE oleh PLN Matikan Pengembangan Panas Bumi
Credit by: Ilustrasi

Jakarta, PINews.com - Wacana akuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero) oleh PT PLN (Persero) berpotensi mematikan pengembangan energi baru terbarukan, khususnya di sektor panas bumi.  Abadi Purnomo, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, mengatakan jika terealisasi dampak yang ditimbulkan dari akuisisi PGE oleh PLN akan sangat luar biasa.  

"Kita sudah susah payah mengembangkan panas bumi. Kalau benar-benar terealasi, ini akan mematikan itu semua," tegas Abadi saat berbicara pada Diskusi Percepatan Pengembangan Energi Panas Bumi untuk Mendukung Realisasi Proyek  35 Ribu Megawatt di Jakarta, Selasa (9/8). 
Menurut Abadi, sebagai suatu perusahaan yang memiliki fortofolio, tentunya akan memilih sektor yang memberikan margin yang lebih besar. Dengan memiliki pembangkit listrik yang lengkap, mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap, hingga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PLN bisa jadi akan menghentikan pembangkit yang memberikan margin yang rendah.
"Kalau melihat dari sisi margin, tentu saya akan lebih cenderung menghidupkan yang murah. Yang mahal dihentikan. Ini pola pikir kalau ada fortofolio yang lengkap," ungkap dia.
Yunus Saifulhak, Direktur Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan rencana akuisisi PGE oleh PLN bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Apalagi yang memiliki kemampuan dalam pengembangan panas bumi adalah Pertamina.
"Tapi tentu itu domain Kementerian BUMN. Concern kami adalah bagaimana eksplorasi dipercepat sehingga panas bumi bisa berkembang," tegas dia.
Abadi mengungkapkan panas bumi mempunyai reservoir, jika satu dimatikan, seluruh sistemnya akan mati semua. Begitu dimatikan, akan butuh waktu dan biaya untuk menghidupkan kembali.
"Jika dimatikan, hilang dong investasinya. Jadi perlu keilmuan reservoir, bisa memang hired orang, tapi itu nambah cost lagi," kata dia.
Tidak hanya itu, Abadi menyoroti lemahnya pengelolaan PLTP oleh PLN selama ini. PLTP Kamojang Unit 1 yang dibangun pada 1992 selama ini hanya memasok uap ke PT Indonesia Power, anak usaha PLN. Namun, jika di luar negeri, PLTP yang sudah berusia 40-50 tahun masih beroperasi dengan baik, PLTP Kamojang Unit 1 justru saat ini dalam keadaan rusak.
Selain itu, PLTP Lahendong Unit 1 yang dioperasikan PLN juga dalam keadaan rusak. Itu semua hanya karena pengurangan biaya operasi.
"PLN juga mempunyai dua wilayah kerja panas bumi (WKP), namun juga tidak jalan. Jadi kemudian timbul pertanyaan, kenapa PLN begitu bernafsu mengambil Chevron dan PGE," kata dia.
Menurut Abadi, perusahaan-perusahaan yang tertarik di bisnis panas bumi, sebagian besar adalah perusahaan minyak karena memiliki kesesuaian karakter dan kompetensinya di sektor hulu.
"Di dunia, perusahaan yang mengembangkan panas bumi seperti Chevron, yang bergerak di upstream. Di Indonesia demikian pula, ada Pertamina dan Supreme Energy yang notebenenya perusahaan migas," ungkap dia. 
Editor: RI