Musik Keroncong Ternyata Lahir Di Utara Jakarta (Part II)
Credit by: Personil Krontjong Toegoe saat ini (dok.Krontjong Toegoe)

Jakarta, PINews.com - Setelah melewati zaman perang kemerdekaan, perkembangan musik keroncong kembali menggeliat, terutama karena sudah tidak adanya lagi pelarangan seperti di zaman Jepang.

Memasuki tahun 1970 musik keroncong mulai berbenah, dengan pendirian grup musik pertamanya di Kampung Tugu yang diberi nama Poesaka Moresco Toegoe. Tidak mudah ternyata untuk mendirikan grup ini. “Karena sang inisiator Jacobus Quiko harus berkeliling mengumpulkan para generasi asli dari pencipta Keroncong” tambah Andre J Michiels pria keturunan asli para pencipta Keroncong dari abad ke 16.

Para personel pertama Poesaka Moresco Toegoe didominasi oleh keluarga Quiko, mereka diantaranya Jacobus Quiko pada Biola, Arend J Michiels dan Said pada Cello, Waas bermain Mandolin dan Biola, Jodep Quiko pada Gitar, Piet Tantua pada Cuk dan Biola, Marten Sophaheluakan bermain Gitar, Hiskia Junus pada Cuk, Fernando Quiko pada Rebana dan terakhir Elpido Quiko pada Triangle.

Yang spesial di medio 70an kata Andre, adalah selain terbentuknya grup Keroncong pertama di Tugu juga dibarengi dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta nomor Cb.11/2/8/72 tentang penetapan desa Tugu dengan fokus Gereja Tugu sebagai daerah yang dilindungi Undang-Undang Monumen (Monumen Ordonnahtie Stbl.238 Tahun 1931).

“Sejak saat itu kita kembali memainkan musik keroncong secara fokus, kemudian ada pendirian sekolah bahasa Portugis dan berbagai kebudayaan yang berakar dari tugu lainnya juga mulai di hidupkan kembali” ceita Andre.

Grup Poesaka Moreco Toegoe pun sejak tahun 70an dipercaya untuk mengiringi kegiatan pelayanan di gereja ataupun menerima penggilan berbagai acara pesta pernikahan. Tidak berbeda jauh dengan para leluhurnya dulu.

Sampai pada akhirnya di 12 Juli 1988 mantan anggota Poesaka Moresco Toegoe yang tersisa yakni salahsatunya Arend J. Michiels membentuk Krontjong Toegoe dengan anggota yang tidak hanya didominasi keluarga Quiko, tapi berbagai manusa bertalenta dari keluarga lainnya.

Penggemukan jumlah personil pun terjadi, di mana Krontjong Toegoe beranggotakan 18 personil. Dengan banyaknya personil tentu alatmusik yang dimainkan menjadi lebih banyak sahut-sahutan pun terjadi yang menjadikan irama Keroncong lebih menarik.

Adapun ke -18 anggota tersebut adalah diantaranya, N Yanto (Biola-pelatih). Arend Julinse Michiels (Cello), Ade Suhendro Michiels (gitar/cello), Yanes Leonard Kalelufna (gitar/macina), Andre J Michiels (Prounga/vocal), Efraim Abraham (Mancina/cello), Martinus Cornelis (Rhytem gitar), Dicky Deady Michiels (Rhytem gitar), Benjamin Abraham (Melodi gitar), Alfondo Andries (Rebana), Arthur J Michiels (Contra Bass),  Charly Brown Sopaheluakan (cello), Saartje Margaretha Michiels (vocal), Erna Ermetina Abraham (vocal), Marteh Sopaheluakan (prunga), Jhony Yunus (gitar), Daniel Megatadoe (gitar/macina), Daniel Corua (gitar).

Perjuangan Krontjong Toegoe mengalami titik balik ketika dipanggil secara khusus oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu untuk menghibur acara jamuan makan malam presiden Republik Indonesia dengan delegasi dari Brasil yang dipimpin presiden Brasil, di kediaman SBY dan istana negara pada tahun 2008.

Tidak hanya itu, Krontjong Toegoe juga diundang secara khusus untuk mengisi acara Tong Tong Festival di Belanda. Tong Tong Festival sendiri sudah diadakan sejak 1959 , yang merupakan salahsatu festival tertua dan terbesar di Belanda.

“Tahun 2008 itu kita diundang yang keempat kalinya bermain di Belanda” kata Andre Juan Michiels selaku Manager Krontjong Toegoe

Masih di tahun yang sama, eksistensi Krontjong Toegoe juga yang membuat pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta luluh serta mendukung penuh kebudayaan di Toegoe (Kampung Tugu) yang menjadi tempat cikal bakal berdirinya Krontjong Toegoe dengan menggelar “Festival Kampung Tugu.”

Klimaks perjuangan Krontjong Toegoe pun hadir pada tahun 2015,ketika alunan khas musik  keroncong  mengiringi delegasi 60 petinggi negara dari benua Asia dan Afrika menyantap jamuan makan malam di Istana Negara dalam gelaran Konfrensi Asia Afrika (KAA).

“Benar-benar tidak pernah kita bayangkan apa yang kita alami sejak 2008. Apa lagi sampai diundang Pak Presiden dan di tahun 2015 musik sederhana leluhur kami bisa didengarkan oleh puluhan petinggi negara di KAA” papar Andre dengan bangga.

Ketika ditanya tentang produktifitas lagu, Andre pun mengaku banyak lagu-lagu komunitas Krontjong Toegoe sejak zaman leluhur dulu tidak terorganisir dengan baik. “Yaa kita tahu sendiri orang dulu belum terpikirkan untuk dokumentasi apalagi buat album, mereka cuma sebatas bermain dan menghibur,” tukas Andre sambil tertawa.

Tapi, lanjut Andre, hal itu mulai berubah karena akhirnya generasi baru Krontjong Toegoe sudah memiliki tiga buah album sejak 1999. Bintang Surabaia (1999), Romantic Souvenir (2006) dan Krontjong Toegoe In Blue (2008) menjadi jawaban dari berubahnya mindset Krontjong Toegoe untuk mendokumentasikan karya mereka. Namun anda tidak akan mendapatkan album mereka di toko-toko kaset atau CD di Indonesia, karena album mereka semuanya dibuat dan dipasarkan di negeri Kincir Angin.

“Alasannya sederhana, karya kami yang bernuansa Keroncong lebih jauh dihargai di Belanda. Jadi ketika ada tawaran dan kesempatan buat album disana kami tidak pikir panjang lagi,” cerita Andre serius.Di tahun 2015 ini album keempat sudah memasuki tahapan Finishing dengan judul “Sambal Colek”.

Lagi-lagi harus diakui, kesadaran akan penghargaan kreatifitas musik dalam negeri masih sangat teramat minim di tanah air. Keroncong saat itu bahkan hingga kini dikenal terlalu kuno dan sepi peminat. Padahal jika tahu sejarahnya, keroncong lahir di tanah air dan turut menjadi saksi sejarah perjalanan musik di Indonesia, bukan musik POP atau Rock yang merupakan musik impor.

Sepinya peminat keroncong juga diamini sendiri oleh Andre. Bahkan Ia bercerita sewaktu kecil masih harus dipaksa oleh orang tuanya.

“Saya sendiri dulu dipaksa main Keroncong, tapi seiring berjalan waktu saya jatuh hati dan sadar bahwa musik asli Indonesia ini harus di lestarikan jangan sampai mati” kata Andre yang dulu juga memaksa anaknya belajar Keroncong.

Perjuangan Andre pun tidak sia-sia dengan mau bergabungnya para generasi muda meneruskan Krontjong Toegoe. Jauh lebih ramping namun tetap memiliki kemampuan untuk tetap mempertahankan tradisi musik Keroncong.

Andre Juan Michiels ( leader/vocal/prounga),  Arthur James Michiels (bass), Arend Stevanus Michiels (Biola), Ignatius Loyola Djeer (melodi gitar/biola), Milton Augustino Michiels (macina), Ufrodo Quinto (usman)  (jembee), Niclaus Payong Ola ( cello), Yanes Leonard Kelelufna (prounga/macina), Saartje Margaretha Michiels ( vocal), Juliette Anggela M (vocal).

Kini ditangan mereka-mereka ini akan ditentukan mau dibawa kemana musik Keroncong. Ditinggal mati lesu di kawasan Tugu atau kembali bisa berbicara banyak, tidak usah muluk-muluk ke industri musik. Minimal masyarakat kenal dengan Keroncong dan asal usulnya.

Editor: RI