Motif Tenun Lombok Subahnale Berasal Dari Kata "Subahanallah"
Credit by: foto : Ist

PINews.com, Lombok - Para petenun berulang kali melafalkan ”subhanallah”, Maha Suci Allah, ketika mengerjakan motif kuno yang luar biasa rumit. Demikian pula para pemakainya. Mereka spontan mengucapkan ”subhanallah” ketika melihat hasil karya tenun Lombok yang demikian indah.

Dari ungkapan kekaguman terhadap kebesaran Allah itu, lahirlah motif yang disebut subahnale. Motif subahnale berupa susunan geometris segi enam seperti sarang lebah dengan isian bunga. Motif ini merupakan salah satu motif kuno di Lombok. Kerumitan dan keindahan motifnya diakui dunia.

Kain-kain terbaik itu digunakan untuk upacara khusus atau beribadah. Pengantin perempuan mengenakan kain tenun songket bermotif subahnale bertumpal dipadu kebaya modifikasi yang panjang menjuntai hingga mata kaki. Pengantin pria menggunakan kain songket motif serupa.

Meski sudah jauh berkurang karena alasan kepraktisan, kain tenun di Pulau Lombok masih dipakai dalam upacara adat. Seperti pada acara peraq api atau puput pusar bayi, berkuris (mencukur rambut bayi), sorong serah aji krama (penyerahan kain tenun dari keluarga mempelai pria kepada keluarga istri), dan besunat (khitan).

Budayawan Lombok, L Agus Fathurrahman, menuturkan, bagi orang Sasak yang merupakan penduduk asli Pulau Lombok, kain tenun berkaitan dengan banyak aspek dalam budaya mereka. Bahkan, untuk menenun harus didahului dengan upacara meski kini sudah tak lagi dijalankan, kecuali di beberapa daerah untuk pembuatan kain umbaq.

”Seseorang lahir dibuatkan tenun umbaq berupa kain bermotif garis-garis dengan rumbai yang diikat dengan kepeng bolong atau uang logam berlubang. Kain yang dipakai untuk menggendong anak ini sebagai simbol kasih sayang dan penuntun hidup. Kain ini dipegang (disimpan) si anak hingga ia meninggal,” kata Agus.

Di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, perempuan masih mengikuti aturan adat bahwa mereka baru diperbolehkan menikah jika sudah pandai menenun. Mereka disyaratkan untuk menenun setidaknya satu helai kain yang nanti akan diberikan kepada calon suami, seperti diungkapkan Lale Mainah (67) yang menenun sejak usia 12 tahun. Ia membuat dua lembar kain untuk calon suami dan dirinya sendiri.

Dosen Program Studi Kriya, Jurusan Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Ratna Panggabean yang mendalami tenun Lombok mengatakan, sebagaimana di daerah lain, ragam hias tenun di Lombok banyak dipengaruhi unsur kepercayaan dan lingkungan sekitar. Jadi, pada masa awal, muncul bentuk-bentuk ragam hias manusia, fauna, dan flora sebagai hasil pengaruh animisme dan dinamisme serta agama Hindu.

Setelah Islam masuk, ragam hias menghindari bentuk makhluk hidup. Namun, beberapa ragam hias menunjukkan terjadinya akulturasi seperti motif bunga lotus pada bagian dalam segi enam subahnale.

Dalam buku Kain Tenun Tradisional Nusa Tenggara karya Suwati Kartiwa disebutkan, kain tenun Lombok mewarisi beberapa ciri yang sama dalam hal corak dan warna dengan tenun Bali, terutama yang berkembang di bagian barat Lombok. Namun, corak hias Lombok tidak sebesar Bali dan tidak pernah pula memakai benang emas.

”Jangan pernah Lombok membuat kain seperti corak Bali. Tetaplah dengan ciri khas Lombok yang memiliki karakter lebih geometris meski pasar Bali memang lebih besar. Dengan begitu, tenun Lombok akan bertahan,” kata Ratna.

sumber : nationalgeographic.co.id

Editor: HM